39. MANAJEMEN QALBU :
BILA
SELALU MENGINGAT MATI
oleh
: KH. Abdullah Gymnastiar
Sehalus-halus
kehinaan di sisi Allah adalah tercerabutnya kedekatan kita dari sisi-Nya. Hal
ini biasanya ditandai dengan kualitas ibadah yang jauh dari meningkat, atau
bahkan malah menurun. Tidak bertambah bagus ibadahnya, tidak bertambah pula ilmu
yang dapat membuatnya takut kepada Allah, bahkan justru maksiat pun sudah mulai
dilakukan, dan anehnya yang bersangkutan tidak merasa rugi.
Inilah tanda-tanda akan tercerabutnya nikmat berdekatan bersama Allah Azza wa Jalla. Pantaslah bila Imam Ibnu Athoillah pernah berujar,
"Rontoknya iman ini akan terjadi pelan-pelan, terkikis-kikis sedikit demi sedikit sampai akhirnya tanpa terasa habis tandas tidak tersisa".
Demikianlah
yang terjadi bagi orang yang tidak berusaha memelihara iman di dalam kalbunya.
Karenanya jangan pernah permainkan nikmat iman di hati ini.
Kisah
teladan I
Ada
sebuah kejadian yang semoga dengan diungkapkannya di forum ini ada hikmah yang
bisa diambil. Kisahnya dari seorang teman yang waktu itu nampak begitu rajin
beribadah, saat shalat tak lepas dari linang air mata, shalat tahajud pun tak
pernah putus, bahkan anak dan istrinya diajak pula untuk berjamaah ke
mesjid.Selidik punya selidik, ternyata saat itu dia sedang menanggung utang.
Karenanya
diantara ibadah-ibadahnya itu dia selipkan pula doa agar utangnya segera
terlunasi.Selang beberapa lama, Allah Azza wa Jalla, Zat yang Mahakaya dan Maha
Mengabulkan setiap doa hamba-Nya pun berkenan melunasi utang rekan tersebut.
Sayangnya begitu utang terlunasi doanya mulai jarang, hilang pula motivasinya untuk beribadah. Biasanya kehilangan shalat tahajud menangis tersedu-sedu,
"Mengapa
Engkau tidak membangunkan aku, ya Allah?!", ujarnya seakan menyesali
diri.
Tapi
lama-kelamaan tahajud tertinggal justru menjadi senang karena jadual tidur
menjadi cukup. Bahkan sebelum azan biasanya sudah menuju mesjid, tapi
akhir-akhir ini datang ke mesjid justru ketika azan.
Hari
berikutnya ketika azan tuntas baru selesai wudhu. Lain lagi pada besok harinya,
ketika azan selesai justru masih di rumah, hingga akhirnya ia pun
memutuskan untuk shalat di rumah saja.
Begitupun untuk shalat sunat, biasanya ketika masuk mesjid shalat sunat tahiyatul mesjid terlebih dulu dan salat fardhu pun selalu dibarengi shalat rawatib. Tapi sekarang saat datang lebih awal pun malah pura-pura berdiri menunggu iqamat, selalu ada saja alasannya. Sesudah iqamat biasanya memburu shaf paling awal, kini yang diburu justru shaf paling tengah, hari berikutnya ia memilih shaf sebelah pojok, bahkan lama-lama mencari shaf di dekat pintu, dengan alasan supaya tidak terlambat dua kali.
"Kalau
datang terlambat, maka ketika pulang aku tidak boleh terlambat lagi, pokoknya
harus duluan!",pikirnya.
Saat
akan shalat sunat rawatib, ia malah menundanya dengan alasan nanti akan di rumah
saja, padahal ketika sampai di rumah pun tidak dikerjakan. Entah disadari atau
tidak oleh dirinya, ternyata pelan-pelan banyak ibadah yang ditinggalkan.Bahkan
pergi ke majlis ta'lim yang biasanya rutin dilakukan, majlis ilmu dimana saja
dikejar, sayangnya akhir-akhir ini kebiasaan itu malah hilang.
Ketika
zikir pun biasanya selalu dihayati, sekarang justru antara apa yang diucapkan di
mulut dengan suasana hati, sama sekali bak gayung tak bersambut.Mulut mengucap,
tapi hati malah keliling dunia, masyaallah. Sudah dilakukan tanpa kesadaran,
seringkali pula selalu ada alasan untuk tidak melakukannya.
Saat-saat berdoa pun menjadi kering, tidak lagi memancarkan kekuatan ruhiah, tidak ada sentuhan, inilah tanda-tanda hati mulai mengeras. Kalau kebiasaan ibadah sudah mulai tercerabut satu persatu, maka inilah tanda-tanda sudah tercerabutnya taufiq dari-Nya.
Akibat
selanjutnya pun mudah ditebak, ketahanan penjagaan diri menjadi blong,
kata-katanya menjadi kasar, mata jelalatan tidak terkendali, dan emosinya pun
mudah membara. Apalagi ketika ibadah shalat yang merupakan benteng dari
perbuatan keji dan munkar mulai lambat dilakukan, kadang-kadang pula mulai
ditinggalkan. Ibadah yang lain nasibnya tak jauh beda, hingga akhirnya
meninggallah ia dalam keadaan hilang keyakinannya kepada Allah. Inilah yang
disebut suul khatimah (jelek di akhir), naudzhubillah. Apalah artinya hidup
kalau akhirnya seperti ini.
Kisah
teladan II
Ada
lagi sebuah kisah pilu ketika suatu waktu bersilaturahmi ke Batam. Kisahnya ada
seorang wanita muda yang tidak bisa menjaga diri dalam pergaulan dengan lawan
jenisnya sehingga dia hamil, sedangkan laki-lakinya tidak tahu entah kemana
(tidak bertanggung jawab). Hampir putus asa ketika si wanita ini minta tolong
kepada seorang pemuda mesjid. Ditolonglah ia untuk bisa melakukan persalinan di
suatu klinik bersalin, hingga ia bisa melahirkan dengan lancar. Walau tidak
jelas siapa ayahnya, akhirnya si wanita ini pun menjadi ibu dari seorang bayi
mungil.
Sayangnya,
sesudah beberapa lama ditolong, sifat-sifat jahiliyahnya kambuh lagi. Mungkin
karena iman dan ilmunya masih kurang, bahkan ketika dinasihati pun tidak mempan
lagi hingga akhirnya dia terjerumus lagi. Demikianlah kisah si wanita ini, ia
kembali hamil di luar nikah tanpa ada pria yang mau bertanggung jawab.
Lalu
ditolonglah ia oleh seseorang yang ternyata aqidahnya beda. Si orang yang akan
membantu pun menawarkan bantuan keuangan dengan catatan harus pindah agama
terlebih dulu. Si wanita pun menyetujuinya, dalam hatinya
"Toh
hanya untuk persalinan saja, setelah melahirkan aku akan masuk Islam lagi".
Tapi
ternyata Allah menentukan lain, saat persalinan itu justru malaikat Izrail
datang menjemput, meninggalah si wanita dalam keadaan murtad, naudzhubillah.
Kisah
teladan III
Cerita
ini nampaknya bersesuaian pula dengan sebuah kisah klasik dari Imam AlGhazali.
Suatu
ketika ada seseorang yang sudah bertahun-tahun menjadi muazin di sebuah menara
tinggi di samping mesjid. Kebetulan di samping mesjid itu adapula sebuah rumah
yang ternyata dihuni oleh keluarga non-muslim, diantara anak-anak keluarga itu
ada seorang anak perempuan berparas cantik yang sedang berangkat remaja.
Tiap
naik menara untuk azan, secara tidak disengaja tatapan mata sang muazin selalu
tertumbuk pada si anak gadis ini, begitu pula ketika turun dari menara. Seperti
pepatah mengatakan "dari mata turun ke hati", begitulah saking
seringnya memandang, hati sang muazin pun mulai terpaut akan paras cantik anak
gadis ini. Bahkan saat azan yang diucapkan di mulut Allahuakbar-Allahuakbar,
tapi hatinya malah khusyu memikirkan anak gadis itu.
Karena
sudah tidak tahan lagi, maka sang muazin ini pun nekad mendatangi rumah si anak
gadis tersebut dengan tujuan untuk melamarnya. Hanya sayang, orang tua si anak
gadis menolak dengan mentah-mentah, apalagi jika anaknya harus pindah keyakinan
karena mengikuti agama calon suaminya, sang muazin yang beragama Islam itu.
"Selama
engkau masih memeluk Islam sebagai agamamu, tidak akan pernah aku ijinkan anakku
menjadi istrimu" ujar si Bapak, seolah-olah memberi syarat agar sang muazin
ini mau masuk agama keluarganya terlebih dulu.
Berpikir
keraslah sang muazin ini, hanya sayang, saking ngebetnya pada gadis ini,
pikirannya seakan sudah tidak mampu lagi berpikir jernih. Hingga akhirnya di
hatinya terbersit suatu niat,
"Ya
Allah saya ini telah bertahun-tahun azan untuk mengingatkan dan mengajak manusia
menyembah-Mu. Aku yakin Engkau telah menyaksikan itu dan telah pula memberikan
balasan pahala yang setimpal. Tetapi saat ini aku mohon beberapa saat saja ya
Allah, aku akan berpura-pura masuk agama keluarga si anak gadis ini, setelah
menikahinya aku berjanji akan kembali masuk Islam".
Baru
saja dalam hatinya terbersit niat seperti itu, dia terpeleset jatuh dari tangga
menara mesjid yang cukup tinggi itu. Akhirnya sang muazin pun meninggal dalam
keadaan murtad dan suul khatimah.
Kesimpulan
Kalau
kita simak dengan seksama uraian-uraian kisah di atas, nampaklah bahwa salah
satu hikmah yang dapat kita ambil darinya adalah jikalau kita sedang berbuat
kurang bermanfaat bahkan zhalim, maka salah satu teknik mengeremnya adalah
dengan 'mengingat mati'. Bagaimana kalau kita tiba-tiba meninggal, padahal kita
sedang berbuat maksiat, zhalim, atau aniaya? Tidak takutkah kita mati suul
khatimah? Naudzhubillah. Ternyata ingat mati menjadi bagian yang sangat penting
setelah doa dan ikhtiar kita dalam memelihara iman di relung kalbu ini.
Artinya
kalau ingin meninggal dalam keadaan khusnul khatimah, maka selalulah ingat mati.
Dalam
hal ini Rasulullah SAW telah mengingatkan para sahabatnya untuk selalu mengingat
kematian. Dikisahkan pada suatu hari Rasulullah keluar menuju mesjid. Tiba-tiba
beliau mendapati suatu kaum yang sedang mengobrol dan tertawa. Maka beliau
bersabda,
"Ingatlah
kematian. Demi Zat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu
mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan banyak
menangis."
Dan
ternyata ingat mati itu efektif membuat kita seakan punya rem yang kokoh dari
berbuat dosa dan aniaya. Akibatnya dimana saja dan kapan saja kita akan
senantiasa terarahkan untuk melakukan segala sesuatu hanya yang bermanfaat.
Begitupun ketika misalnya, mendengarkan musik ataupun nyanyian, yang didengarkan
pasti hanya yang bermanfaat saja, seperti nasyid-nasyid Islami atau bahkan
bacaan Al Quran yang mengingatkan kita kepada Allah Azza wa Jalla.
Sehingga
kalaupun malaikat Izrail datang menjemput saat itu, alhamdulillah kita sedang
dalam kondisi ingat kepada Allah. Inilah khusnul khatimah. Bahkan kalau kita
lihat para arifin dan salafus shalih senantiasa mengingat kematian,seumpama
seorang pemuda yang menunggu kekasihnya. Dan seorang kekasih tidak pernah
melupakan janji kekasihnya. Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah r.a.bahwa ketika
kematian menjemputnya, ia berkata,
"Kekasih
datang dalam keadaan miskin. Tiadalah beruntung siapa yang menyesali
kedatangannya. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa kefakiran lebih aku sukai
daripada kaya, sakit lebih aku sukai daripada sehat, dan kematian lebih aku
sukai daripada kehidupan, maka mudahkanlah bagiku kematian sehingga aku
menemui-Mu."
Akhirnya,
semoga kita digolongkan Allah SWT menjadi orang yang beroleh karunia khusnul
khatimah. Amin!