38. WARISAN PARA AWLIYA :
YUSUF BIN AL-HUSAIN
PERTAUBATAN
YUSUF BIN AL-HUSAIN AR-RAZI
Kehidupan
spiritual Yusuf bin al-Husain ar-Razi dimulai sebagai berikut : Ia melakukan
perjalanan bersama sahabat-sahabatnya di negara Arab. Ketika sampai ke suatu
daerah kekuasaan suatu suku, seorang puteri kepala suku itu melihatnya,lantas
tergila-gila kepada Yusuf yang memang berwajah tampan. Setelah menanti saat-saat
yang tepat, akhirnya si gadis dapat menghadang Yusuf. Dengan tubuh gemetar Yusuf
meninggalkan si gadis dan berangkat menuju perkampungan yang lebih jauh
letaknya.
Suatu malam, ketika Yusuf tertidur dengan menyandarkan kepala kelututnya, ia bermimpi sedang berada di suatu tempat yang belum dikenalnya. Seseorang sedang duduk di atas sebuah tahta dengan segala kebesaran sebagai layaknya seorang raja, di sekelilingnya berdiri pengawal-pengawal berjubah hijau. Karena rasa ingin tahu siapa mereka, Yusuf menghampiri mereka. Semua memberi jalan kepada Yusuf dan bersikap hormat kepadanya.
"Siapakah
kalian?", tanya Yusuf.
"Kami
adalah malaikat-malaikat, dan yang duduk di atas tahta itu adalah Yusuf as. Ia
datang berkunjung kepada Yusuf bin al-Husain".
Marilah kita dengarkan lanjutan kisah ini menurut penuturan Yusuf bin al-Husain sendiri.
Aku tak dapat menahan air mataku dan berseru :
"Siapakah
aku ini sehingga Nabi Allah sendiri telah datang untuk mengunjungiku ?"
Yusuf as, turun dari tahtanya dan merangkulku. Kemudian ia mendudukkan aku ke atas tahta itu. Aku bertanya kepadanya,
"Wahai
Nabi Allah, siapakah aku sehingga engkau sedemikian baiknya terhadapku ?"
Yusuf
as, menjawab : "Ketika gadis jelita itu menghadangmu tetapi engkau
menyerahkan diri kepada Allah dan minta perlindungan-NYA, Allah menunjukkan
dirimu kepadaku dan para malaikat ini. Dan Allah berkata padaku :
'Lihatlah
wahai Yusuf! Engkau adalah Yusuf yang berahi terhadap Zulaiha dan menolaknya.
Tetapi dia ini adalah Yusuf yang tak berahi terhadap puteri seorang raja Arab
dan melarikan dirinya'. Allah sendiri mengutusku beserta malaikat-malaikat ini
untuk mengunjungimu. Ia sampaikan kabar gembira padamu bahwa engkau adalah salah
seorang di antara manusia -manusia kesayangan-NYA".
Kemudian
Yusuf as menambahkan : "Di dalam setiap zaman ada seorang penunjuk jalan.
Penunjuk jalan pada zaman ini adalah Dzun Nun al-Mishri. Dia telah mengetahui
yang terbesar di antara nama-nama Allah. Pergilah kepadanya".
Ketika
Yusuf bin al-Husain terjaga (Pengisah meneruskan kisahnya) hatinya sangat
terharu. Hasratnya menggelora. Ia sangat ingin mengetahui yang terbesar di
antara nama-nama Allah. Berangkatlah ia ke negeri Mesir. Sesampainya di masjid
Dzun Nun iapun mengucapkan salam dan duduk. Dzun Nun membalas salamnya. Setahun
lamanya Yusuf duduk di masjid itu. Ia tak berani bertanya kepada Dzun Nun.
Setelah setahun barulah Dzun Nun bertanya
"Anak
muda, dari manakah engkau ?"
"Dari
Rayy", jawab Yusuf.
Setahun
pula Dzun Nun tidak menegur-negurnya dan Yusuf tetap duduk di pojoknya. Pada
akhir tahun yang kedua itu Dzun Nun bertanya kepadanya.
"Anak
muda, apakah tujuanmu kemari ?"
"Untuk menemuimu", jawab Yusuf.
Setelah
itu setahun pula lamanya Dzun Nun tidak berkata-kata kepadanya.
"Anak
muda apakah yang engkau kehendaki ?"
"Aku datang supaya engkau mengatakan kepadaku Nama Yang Terbesar", jawab Yusuf.
Setahun
pula Dzun Nun membisu.Kemudian diberinya kepada Yusuf sebuah tabung kayu yang
tertutup dan berkata :
"Pergilah
ke seberang sungai Nil. Di suatu tempat ada seorang tua. Berikanlah tabung ini
kepadanya dan ingatlah apa-apa yang dikatakannya kepadamu".
Yusuf menerima tabung kayu itu dan pergilah ia menyeberangi sungai Nil. Di tengah perjalanan hatinya tergoda.
"Apakah
yang bergerak-gerak di dalam tabung ini ?", ia bertanya di dalam hati.
Tabung itu dibukanya dan seekor tikus meloncat keluar, kemudian melarikan diri,
Yusuf merasa bingung.
"Kemanakah
aku harus pergi sekarang ? Haruskah aku ke orang tua itu atau kembali kepada
Dzun Nun ?"
Akhirnya
ia memutuskan untuk menjumpai si orang tua itu. Menyaksikan kedatangan Yusuf
yang menenteng tabung kayu yang telah kosong itu, si orang tua tersenyum dan
menegurnya :
"Engkau
menanyakan nama Allah yang terbesar kepada Dzun Nun ?"
"Ya", jawab Yusuf.
"Dzun
Nun mengetahui sikapmu yang tidak sabar dan oleh karena itu dititipkannya seekor
tikus kepadamu. Maha Besar Allah, seekor tikus saja tidak dapat engkau jaga,
apalagi Nama Yang Terbesar itu".
Yusuf
malu sekali, iapun kembali ke masjid Dzun Nun. Dzun Nun menyambutnya :
"Kemarin, tujuh kali aku memohon izin Allah untuk menyampaikan nama-NYA yang terbesar itu, tetapi Allah tidak memperkenankannya. Hal ini berarti, belum tiba saatnya. Kemudian menunjukiku : "Cobalah ia dengan seekor tikus. Dan setelah engkau kucoba ternyata beginilah jadinya. Kembalilah ke negeri asalmu dan tunggulah hingga saat yang tepat".
"Sebelum aku meninggalkan tempat ini, berilah aku sebuah petuah", Yusuf bermohon kepada Dzun Nun.
"Akan
kuberi padamu tiga petuah", jawab Dzun Nun.
"Yang
satu besar, yang satu sedang, dan yang terakhir kecil. Petuah yang besar adalah
: Lupakan segala sesuatu yang telah engkau baca dan hapuskanlah segala sesuatu
yang telah engkau tulis, agar selubung penutup matamu terbuka".
"Petuah
ini tak dapat kulaksanakan", sela Yusuf.
"Petuah
yang sedang adalah : Lupakanlah aku dan jangan bicarakan diriku dengan siapapun
juga. Jika seseorang berkata, 'muridku mengatakan begini' atau 'guruku
mengatakan begitu', sesungguhnya semua itu memuji diri sendiri".
"Petuah
inipun tak dapat kulaksanakan", sela Yusuf.
"Yang
terakhir yang kecil adalah : Serulah manusia kepada Tuhan mereka".
"Petuah ini insya Allah dapat kulaksanakan", sahut Yusuf.
"Tetapi
dengan satu syarat, bahwa dalam menyeru manusia itu engkau bukan menyeru mereka
karena mereka".
"Aku
penuhi syarat tersebut".
Maka
berangkatlah Yusuf ke Rayy. Ia adalah dari keluarga terhormat dan karena itu
warga kota berdatangan untuk menyambut kedatangannya. Ketika memulai khotbahnya,
Yusuf mengemukakan realitas-realitas mistik. Mendengar ajaran-ajaran ini,
penduduknya yang hanya mengenal doktrin eksoteris melalui pengajaran formal,
marah dan menentang Yusuf.
Nama Yusuf jatuh sehingga akhirnya tak seorangpun yang mau datang mendengar ceramahnya. Seperti biasanya, suatu hari iapun tampil untuk berceramah. Tetapi ketika itu tak seorangpun yang hadir mendengarkannya, iapun bermaksud pulang. Saat itu, seorang perempuan tua berseru :
"Bukankah
engkau telah berjanji kepada Dzun Nun bahwa engkau akan menyeru manusia bukan
karena mereka tetapi karena Allah semata ?"
Yusuf
tersentak mendengar kata-kata ini. Iapun memulai khotbahnya.Demikian
dilakukannya secara terus-menerus selama lima puluh tahun, baik ada yang
mendengar atau tidak.
YUSUF
BIN AL-HUSAIN & IBRAHIM BIN KHAUWAS
Ibrahim
bin Khauwash adalah salah seorang murid Yusuf bin al-Husain. Berkat
persahabatannya dengan Yusuf itulah Ibrahim bin Khauwash memperoleh kemajuan
spiritual yang menakjubkan, sehingga ia sanggup berjalan mengarungi padang pasir
tanpa bekal makanan dan binatang tunggangan. Melalui Ibrahim bin Khauwash inilah
kita mendengar kisah berikut ini :
Pada
suatu malam, terdengar olehku sebuah suara yang menyeruku.
"Pergi dan katakan kepada Yusuf bin al-Husain 'engkau adalah salah seorang diantara orang-orang yang ditolak!".
Kata-kata
itu sedemikan menyedihkan hatiku, sehingga seandainya sebuah gunung ditimpakan
ke atas kepalaku, niscaya lebih mudah kutanggungkan dari pada menyampaikan
kata-kata itu kepada Yusuf. Malam esoknya terdengar pula seruan yang lebih
keras.
"Katakan kepda Yusuf, 'engkau adalah salah seorang di antara orang-orang yang ditolak!". Aku bangun, bersuci dan memohon ampunan Allah.Aku merenungi hal ini hingga malam yang ketiga, dan seruan itu terdengar pula :
"Katakan
kepada Yusuf, 'engkau adalah salah seorang di antara orang-orang yang
ditolak!". "Jika pesan ini tidak engkau sampaikan kepadanya, akan Kami
timpakan bencana kepadamu sehingga kau tak dapat bangun lagi".
Dengan sangat sedih akupun bangkit dan pergi ke masjid, dimana kulihat Yusuf sedang duduk di tempat imam shalat.
"Adakah
syair yang hapal olehmu?", Yusuf bertanya ketika ia melihat kedatanganku.
"Ya", jawabku.
Akupun
mengingat-ingat sebuah syair berbahasa Arab lalu kusenandungkan.
Yusuf begitu senang mendengar syair itu. Ia berdiri dan tetap berdiri untuk waktu yang lama. Air matanya bercucuran, seolah bercampur dengan darah. Kemudian ia berpaling kepadaku dan berkata :
"Sejak
dilahirkan hingga saat ini, orang-orang telah membacakan al-Qur'an untukku,
namun tak setetes air mata yang pernah kutumpahkan. Tetapi melalui sebuah syair
yang engkau senandungkan itu, aku mengalami keadaan seperti ini, air mataku
bercucuran. Sangatlah tepat apabila orang-orang mengatakan bahwa kau adalah
seorangh bid'ah. Seruan Illahi telah berkata dengan sebenarnya, bahwa aku adalah
salah seorang di antara orang-orang yang ditolak. Seseorang yang sedemikian
terharu mendengar sebuah syair tetapi Al Qur'an tak sedikitpun menggugah
hatinya, adalah benar-benar salah seorang yang ditolak".
Hatiku goncang karena menyaksikan kejadian ini dan mendengarkan kata-katanya. Goyahlah keyakinanku kepada Yusuf. Aku takut.Akupun bangkit dan berjalan ke arah padang pasir. Dalam perjalanan tersebut kebetulan aku bertemu dengan Khidir dan ia berkata kepadaku :
"Yusuf
bin al-Husain telah menerima pukulan Allah, tetapi tempatnya adalah puncak
tertinggi di dalam surga. Seorang manusia harus menempuh jalan Allah sedemikian
jauh dan sedemikiann kokohnya, sehingga walau dahinya ditampar oleh tangan
penolakan, tempatnya masih tetap di puncak tertinggi di dalam surga.Apabila di
atas jalan ini tingkat para raja tak tercapai olehnya, setidak-tidaknya
tingkatnya tidak di bawah para menteri".
YUSUF
BIN AL-HUSAIN & SEORANG HAMBA PEREMPUAN
Seorang saudagar telah membeli seorang hamba perempuan seharga seribu dinar di Nishapur. Ia berpiutang kepada seorang di kota lain. Si saudagar hendak pergi ke sana dengan segera untuk menagih piutangnya itu. Tetapi di kota Nishapur tak seorangpun yang dapat dipercayai untuk dititipkan hamba perempuannya itu. Oleh karena itu pergilah ia menemui Abu 'Utsman al-Hiri dan menjelaskan masalah yang dihadapinya itu. Mula-mula Abu 'Utsman menolak titipan budak perempuan itu, tetapi si saudagar tetap meminta pertolongannya :
"Izinkanlah ia tinggal di dalam haremmu. Aku akan kembali dalam waktu secepatnya".
Akhirnya
Abu 'Utsman menyerah dan si saudagar meninggalkan tempat itu.Tanpa disengaja
terpandanglah gadis itu oleh Abu 'Utsman dan iapun tergila-gila kepadanya. Ia
tak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Pergilah
ke Rayy dan mintalah nasehat kepada Yusuf bin al-Husain".
Maka berangkatlah Abu 'Utsman ke negeri Iraq. Ketika sampai di kota Rayy, ditanyakannya tempat tinggal Abu yusuf bin al-Husain. Tetapi orang-orang mencegahnya ke sana.
"Apakah
urusanmu dengan manusia bid'ah yang terkutuk itu ? Engkau tampaknya sebagai
seorang yang saleh, bergaul dengannya berarti menjerumuskan dirimu
sendiri".
Sedemikian
banyak keburukan-keburukan Yusuf yang diperkatakan orang sehingga Abu 'Utsman
menyesal, mengapa ia sampai datang ke kota Rayy itu.
Akhirnya iapun kembali ke Nishapur.
"Apakah
engkau telah bertemu dengan Yusuf bin al-Husain ?", satu pertanyaan Abu
Hafshin menyambut kedatangannya di Nishapur.
"Tidak",
jawab Abu 'Utsman.
"Mengapa
tidak?", tanya Abu Hafshin.
"Aku
dengar segala tingkah laku Yusuf",
kemudian...
lalu dikisahkannya segala sesuatu yang disampaikan penduduk Rayy kepadanya.
"Oleh
karena itulah aku tidak menemuinya dan kembali ke Nishapur".
"Kembalilah ke Rayy, dan temuilah Yusuf",
Abu
Hafshin mendesak 'Utsman. Abu 'Utsman pergi lagi ke Rayy dan sekali lagi
bertanya-tanya, dimanakah tempat tinggal Yusuf. Dan penduduk kota Rayy seratus
kali lebih banyak memburuk-burukkan Yusuf daripada sebelumnya.
"Aku
mempunyai suatu urusan penting dengan Yusuf," Abu 'Utsman menjelaskan
kepada mereka.
Akhirnya mereka mau juga menunjukkan kediaman Yusuf. Sesampainya di tempat Yusuf, dilihatnya seorang tua yang sedang duduk. Dan seorang remaja tampan yang tak berjanggut berada di depannya. Si pemuda sedang menyajikan sebuah cembung dan cangkir.Wajahnya berseri-seri. Abu'Utsman masuk, mengucapkan salam dan duduk. Syeikh Yusuf memulai pembicaraan, mengucapkan ajaran-ajaran yang sedemikian mulia dan luhur, membuat Abu 'Utsman terheran-heran.Akhirnya berkatalah Abu 'Utsman :
"Demi
Allah, dengan kata-kata dan pemikiran-pemikiran seperti ini, apakah yang telah
terjadi atas dirimu? Anggur dan seorang remaja yang belum
berjanggut?"
"Remaja
yang tak berjanggut ini adalah puteraku, dan hanya sedikit orang yang tahu bahwa
ia adalah puteraku", jawab Yusuf.
"Aku
sedang mengajarkan al-Qur'an kepadanya. Bejana anggur ini, kebetulan kutemukan
di tempat sampah. Bejana ini kuambil, kucuci dan kuisi air, sehingga aku dapat
menyuguhkan air kepada orang-orang yang ingin minum karena selama ini aku tak
punya sebuah tempayanpun".
Abu
'Utsman bertanya pula, "Demi Allah, mengapakah engkau bertingkah laku
seperti ini sehingga orang-orang mengatakan hal-hal yang bukan-bukan mengenai
dirimu ?"
"Aku
bertingkah laku seperti ini agar tidak ada orang yang sudi menitipkan hamba
perempuannya yang berbangsa Turki kepadaku".
Mendengar
jawaban ini, Abu 'Utsman merebahkan dirinya di kaki sang syeikh. Sadarlah ia
bahwa Yusuf sebenarnya telah mencapai tingkat kesalehan yang tinggi".