34.
BAHASA AIR MATA
Banyak
cara untuk menyampaikan pesan. Dan terdapat aneka ragam bahasa untuk
berkomunikasi. Bahkan berdiam seribu bahasa pun sering lebih efektif untuk
mengungkapkan sikap.
Siti
Maryam, ibu Nabi Isa a.s., diperintah Allah berdiam atau menggunakan simbol
untuk menyampaikan pesan (QS 3:41 dan QS 19:26). Terkadang aksi mogok makan
dilakukan sebagai bentuk protes. Ummu Kultsum, penyair tenar Mesir, pernah
mengalunkan lagu gubahan Ahmad Syauqi yang menggambarkan bahwa bahasa terkadang
tidak seampuh lirikan mata untuk menyampaikan asmara. "Ampuh ungkapan
bahasa, namun tatapan mata yang menyala lebih ampuh untuk mengekspresikan
cintaku pada kekasih,"kata Syauqi.
Diantara
sekian banyak sarana komunikasi, linangan air mata atau tangis merupakan pesan
yang sangat dalam. Kita dapat bertanya pada diri kita masing-masing, kapan
terakhir kali kita menangis? Dan mengapa kita menangis ?
Mencucurkan
air mata bukan semata monopoli anak kecil atau kaum wanita. Manusia-manusia
agung pun mencucurkan air mata. Dalam sirah (biografi) Nabi Muhammad Saw.
diriwayatkan bahwa beliau mencucurkan air mata saat mencium putranya Ibrahim,
ketika putranya itu menghembuskan napasnya yang terakhir. Melihat air mata Nabi
yang tak terbendung, Abdurahman bin Auf, tercengang dan berkata "Engkau
juga menangis, wahai Rasul."
Nabi menjawab, "Ini adalah rahmat Tuhan."
Lalu
beliau bersabda, "Air mata berlinang, hati terkoyak-koyak kesedihan, namun
kami tidak akan berkata kecuali yang diridhai Allah. Wahai anakku Ibrahim,
sungguh kami sedih atas perpisahan ini."
Nabi
Isa a.s. pun menangis. Menurut riwayat Perjanjian Baru (St. John), Mary dan
Martha meminta kedatangan Yesus untuk mengobati saudara mereka, azarus. Ketika
Yesus tiba, Mary meninggal. Menurut St. John, perasaan Yesus sangat terganggu
dan sedih sampai beliau mencucurkan air mata. Pertama-tama kita harus sadari
bahwa menangis adalah kenyataan biologis. Ia berfungsi sebagai sistem pembersih
kornea mata. Jika air mata mengendap di balik mata, alat penglihatan akan
terganggu. Binatang pun menangis, tapi mungkin hanya manusia yang mengaitkan
cucuran air mata dengan respons emosional. Ahli-ahli ilmu jiwa mendeteksi bahwa
mereka yang sering menangis, terutama anak-anak kecil, lebih sempurna mencapai
keinginannya ketimbang yang jarang menangis.
Manusia
adalah makhluk yang peka dan acap menangis. Ia menangis ketika disakiti, ketika
takut, sedih, ingin dikasihani, dan bahkan apabila ia bahagia. Masih dalam
lingkup menangis, manusia terkadang mengeluarkan air mata buaya jika hendak
mengelabui atau menipu. Oleh karena itu kita perlu untuk memahami bahasa air
mata. Bahasa ini terkadang lebih jelas dari bahasa kata-kata. Ia mempunyai
aturan-aturan tertentu yang menghubungkan pikiran dan emosi melalui sarana yang
sangat canggih.
Menangis
bersumber dari suatu hal yang terletak jauh di dalam jiwa yang terkait dengan
sumber spiritual manusia. Namun sayangnya manusia pada umumnya menggunakan
standar ganda dalam menghadapi budaya tangis. Hanya kaum Hawa yang dinilai wajar
menangis. Wanita akan diberi tempat layak apabila mencucurkan air mata pada
situasi tertentu. Sebaliknya, anak lelaki atau pria, rasa hormat akan diberikan
ketika mereka dapat menahan air mata. Bahkan atribut ketegaran sering diberikan
kepada seorang wanita di kala ia menahan linangan air mata. Padahal, kalau saja
kita dapat memahami bahasa tangis, pandangan sepihak atau standar ganda yang
selama ini membentuk persepsi kita akan lambat laun kita tanggalkan. Salah satu
cara untuk mengoreksi kekeliruan tersebut adalah dengan membedakan tipe-tipe
tangis yang sangat bervariasi.
Variasi
Tangis :
Air
mata dapat melaju karena faktor fisiologis. Mata terkena debu, aroma bawang,
atas gas yang mengandung bahan kimia. Air mata juga dapat keluar saat tingkat
hormon tidak seimbang. Adapula air mata yang didorong oleh kenangan yang
mengesankan, yang indah atau yang buruk. Kita hidupkan kenangan-kenangan
tersebut melalui linangan air mata. Lain lagi air mata yang memberi rasa lega,
yang berfungsi sebagai terapi untuk mengatasi rasa cemas yang berkepanjangan.
Kita pun menangis akibat tangisan orang banyak. Misalnya tangisan perkawinan,
wisuda, atau memasuki masa purnabakti. Air mata ini pertanda keakraban hubungan.
Air
mata juga melambangkan ekspresi rasa kehilangan, terutama bila yang hilang
sangat berarti bagi seseorang. Jangankan manusia, meninggalnya anjing kesayangan
mantan Presiden Amerika George Bush sangat membekas pada hati keluarga Bush,
demikian berita CNN.
Kematian
tanpa cucuran air mata dianggap anomali. Dalam kebudayaa Yunani, Cina, Timur
Tengah, tradisi wanita bayaran untuk meratapi jenazah masih berlaku sampai
sekarang. Pada saat-saat perpisahaan, air mata mengekspresikan rasa penghargaan
dan mengundang refleksi.
Depresi,
frustasi, dan putus asa juga membangkitkan laju air mata yang deras. Air mata
yang keluar saat itu sebagai akibat ketidakberdayaan, sangat menyayat hati.
Ketika itu kita benci melihat tetesan air mata.
Dilain
pihak, kita sering menangis karena tidak dapat membendung kebahagiaan. Ungkapan
kata sangat terbatas untuk menampung rasa bahagia yang begitu dahsyat, misalnya
pada saat kelahiran anak pertama, atau pada saat meraih keberhasilan yang
didambakan.
Air
mata simpati akibat kesedihan yang diderita orang lain sering juga kita alami.
Bahkan terkadang kita sengaja mengeluarkan uang untuk mengundang air mata
tersebut melalui pertunjukkan film. Imajinasi kita dapat membangkitkan rasa haru
yang disusul dengan tangisan tersedu-sedu.
Adapula
tangisan yang bersifat manipulatif dengan cara mengundang simpati orang lain
menunjukkan penyesalan guna meringankan vonis atau hukuman. Yang paling pandai
menggunakan tangisan ini adalah anak-anak dan mungkin juga wanita, demikian
Josepf Kottler dalam bukunya The Language of Tears.
Agama
dan Tangis
:
Air
mata yang tercurah akibat penyesalan dosa, ketakutan akan siksaan Tuhan, atau
kekhawatiran akan nasib di hari kemudian, disamping kebahagiaan atas penemuan
kebenaran & kehampiran kepada Tuhan, kesemuanya mendapatkan tempat terpuji
dalam perbendaharaan bahasa kita suci. Dalam literatur tasawuf, sebelum kata
"sufi" - menunjukkan kelompok yang menekankan aspek spiritual dalam
kehidupannya - populer digunakan, kelompok tersebut diberi attribut
al-bakkaa'uun yang berarti "penangis atau suka menangis."
Kelompok
ini - dipelopori oleh Al-Hasan Al-Basri - tiap
kali merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an mereka menangis tersedu-sedu. Ketika surga
disebut, mereka mencucurkan air mata sambil berharap dapat memasukinya dan
ketika siksaan neraka digambarkan mereka pun menangis karena takut terjerumus ke
dalamnya.
Pengalaman seseorang, khususnya ditempat-tempat suci yang membangkitkan rasa syahdu dan khusuk, bisa menyebkan air mata laju tak terbendung. Umat Yahudi, bahkan memiliki Wailling Wall (Tembok Ratapan), tempat mereka meratap sambil memohon ampunan. Demikian halnya umat Kristen ketika melawat ke Yerusalem, sambil mengenang kehidupan serta perjalanan spiritual Yesus, air mata yang membasahi pipi terlihat dimana-mana.
Tidak
ubahnya ketika umat Isalm berdiri di multazam (sisi kanan hajar aswad di
Ka'bah). Suasana syahdu yang dibarengi cucuran air mata dan tangisan merupakan
hal yang biasa. Belum lagi beraudiensi di makan Rasulullah di Madinah, sambil
mengucapkan salam dan penghargaan kepada beliau, suara tangis terdengar walau
dari kejauhan. Hal yang sama dapat dijumpai dihadapan makan Imam Husein di
Karbala, pengunjung bertangisan mengenang perjuangan beliau meletakkan keadilan
walau harus mengorbankan jiwanya.
Sungguh,
bahasa air mata secara jelas menyampaikan pesannya. Dalam Al Qur'an kita jumpai
kata-kata menangis, atau cucuran air mata disebut beberapa kali. Terkadang
menggambarkan kesedihan atas kematian (QS 44:29), atau kekhawatiran atas ancaman
Tuhan (QS 53:60). Terekam pula air mata saudara-saudara Nabi Yusuf a.s. saat
mengelabui ayahnya Nabi Yakub a.s. (QS 12:16).
Tangis
sedu-lagi khusyuk sebgai manifestasi iman dan kehampiran kepada Allah
digambarkan dalam Al-Qur'an Surat Al Israa'(17):107 dan Surah Maryam(19):58.
Disamping itu Al-Qur'an menggambarkan betapa sebagian umat Kristen mencucurkan
air mata saat mendengarkan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. curahan
air mata dibarengi dengan kesaksian terhadap kebenaran wahyu illahi (QS 5:83).
Tergambarkan tangisan suatu kelompok yang bersedih hati karena harus tertinggal
dari suatu peperangan di jalan Allah (QS 9:92).
Mari
kita merenung bersama, apa yang menjadikan air mata kita melaju. Apakah hanya
terbatas ketika kita merasa sedih karena kehilangan, depresi karena frustasi,
atau ketidakberdayaan karena jalan buntu? Masih tertinggalkah tetesan air mata
saat mendengar peringatan Tuhan, atau mengenang perjuangan Rasul-Nya?
Semoga
demikian.
Disadur
dari buku :
ISLAM
INKLUSIF
Menuju
Sikap Terbuka Dalam Beragama
Karya
: Dr. Alwi Shihab, PhD
Cetakan
IV, Rabi 'Al-Tsani 1419 / Agustus 1998
Penerbit
Mizan bekerjasama denga ANTV.-