25.
BAYANGAN KEMATIAN
Dr.
Jalaluddin Rahmat
Waktu
itu, malam tahun baru. Usai sholat maghrib, kami mengadakan pengajian singkat
menyambut tahun 1996. Saya menyarankan agar masing-masing merenungkan makna
tahun baru bagi dirinya. Jama'ah diam. Pengajian tampak seperti upacara
mengheningkan cipta. Kami tesentak ketika wak Haji, yang tertua diantara kami,
memecahkan kesunyian,
"Saya
kira tidak layak menyambut tahun baru dengan pesta. Bukankah tahun baru adalah
berita duka ? Bukankah setiap tahun baru mengantarkan kita lebih dekat ke
kuburan ? Pada tahun-tahun yang lalu, maut telah mengambil kawan-kawan atau
keluarga kita. Lalu, siapa yang akan dijemput maut tahun ini ?"
Wak
haji sudah berusia 89 tahun, walaupun tampak sehat dan kuat. Ia taat beribadah,
selalu sholat berjama'ah. Ia datang ke Mesjid sejam sebelum adzan subuh.
Walaupun hidup dalam usia senja, ia senang bercanda. Karena itu agak
mengherankan bila tahun ini ia kedengaran pesimis. Mungkinkan itu pertanda bahwa
boleh jadi tahun ini ia meninggalkan kami ?
"Apakah
orang sholeh takut menghadapi kematian ?" tanya seseorang yang mengarahkan
pertanyaannya kepada saya.
"Saya
selalu dihantu rasa takut mati. Mungkin karena saya tidak sholeh. Wak Haji
benar. Tahun baru adalah berita duka. Seperti napi yang akan dihukum gantung,
saya melihat, setiap dentang jam membawa saya lebih dekat ke tiang gantungan.
Adakah kiat untuk mengobati takut mati ?"
Saya
jawab bahwa orang sholehpun takut mati. Salah seorang cucu Rasulullah dikenal
sebagai wali Allah. Ia banyak beribadah, sehingga diberi gelar Zayn al-'Abidin.
Tapi dengarkan doanya,
"Kepada-MU
aku berlindung dari habisnya usia sebelum siap sedia".
Jadi
orang sholehpun takut mati. Yang membedakan kita dengan orang sholeh adalah
alasan yang menyebabkan takut mati.
Kita
takut mati karena keterikatan dengan dunia. Kalau saya mati, siapa yang akan
menjaga kepentingan anak-anak saya, siapa yang akan mengurus perusahaan saya,
siapa yang mengamankan kekayaan saya. Orang sholeh takut
Dalam
doa yang lain, Zayn al-'Abidin berkata,
"Siapa
gerangan yang keadaannya lebih jelek dari diriku, jika dipindahkan dalam
keadaanku seperti ini, aku dipindahkan ke kuburanku. Aku belum menyiapkan
pembaringanku. Aku belum menghamparkan amal sholeh untuk tikarku."
"Bagaimana
aku tidak menangis, padahal aku tidak tahu akhir perjalananku. Kulihat nafsu
menipuku dan hari-hari melengahkanku. Padahal maut telah mengepak-ngepakan
sayapnya diatas kepalaku.
"Bagaimana
aku tidak menangis, kalau kukenang saat aku menghembuskan nafas yang terakhir.
Aku menangis karena kegelapan kubur, aku menangis karena kesempitan lahadku, aku
menangis karena aku akan keluar dari kuburku dalam keadaan telanjang, hina,
sambil memikul dosa di atas punggungku."
Walhasil,
kalau takut mati karena belum cukup bekal, peliharalah rasa takut itu. Tidak
perlu kita menghilangkannya. Ingat kepada kematian mendorong manusia berbuat
baik. Ia akan menjadikan amal sholeh sebagai bekal untuk kehidupan sesudah
kematian.
Sadar
akan kematian berarti sadar akan ketiaadaan Ego dan "non being". Bila
kita harus mengakhiri semuanya dengan kematian, masih absahkah kebiasaan kita
untuk terus-menerus mengorbankan orang lain buat kepentingan kita ? Bukankah
hidup kita menjadi lebih bermakna bila kita "memberikan diri" kita
buat kebahagiaan orang lain ? Dengan menghancurkan Ego, kita memasukkan orang
lain (the otherness) kedalam
Joel
Kovel mengamati dengan cermat dunia modern yang disebutnya sebagai "dunia
tanpa ruh". Dalam "History and Spirit: An Inquiry into the Spirit of
Liberation", Kovel menawarkan pembebasan manusia dari Egonya dengan
memasukkan spiritulitas ke dalam kehidupan. Salah satu caranya ialah menyadarkan
manusia akan kematian.
"Termasuk
ke dalam spiritualitas adalah kesediaan untuk mati. Hidup yang bermakna adalah
kehidupan yang telah menerima orang lain dan mempersiapkan dirinya untuk mati.
Ini tidak berarti bahwa dia adalah wujud yang ingin mati. Sebaliknya, jiwa
sempurna memandang hidup ini lebih indah dan lebih intens. Sungguh, kesadaran
akan adanya kematian, visi tentang bayangan maut, tidak lain daripada menjadikan
kehidupan sebagai titik pandang utama".
Tuhan
mendampingkan kematian dan kehidupan pada ayat yang sama, tetapi Dia menyebut
kematian lebih dahulu daripada kehidupan. Dia menegaskan bahwa kehidupan hanya
bermakna dengan latar belakang kematian. Keduanya didampingkan sebagai ujian
untuk mendorong manusia beramal sholeh.
"Dia
yang menjadikan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kamu, siapa
diantara
kamu yang lebih baik amalnya" (QS 67:2)
Rasulullah
saw mendampingkan maut dengan Alqur'an. Rasulullah bersabda,
"Aku
tinggalkan bagi kalian dua pemberi peringatan. Yang pertama memberikan
peringatan
dengan pembicaraannya. Yang kedua memberikan peringatan dengan
kebisuannya.
Yang pertama, Alqur'an dan yang kedua adalah kematian".
Ternyata
Wak Haji yang tampak sehat dalam usianya yang hampir seabad adalah orang yang
mendengarkan peringatan Alquran tentang kematian.
"Hidup
kita akan lebih bermakna bila kita bermanfa'at bagi orang lain". Seperti
Wak Haji, Alquran dan kematian telah memberikan kepadanya kehidupan
yang
lebih manis dan lebih mendalam.
*)
dari buku "Reformasi Sufistik"