22.
KEDAHSYATAN SAAT MENJELANG MAUT
III
Kesedihan
Ketika Berjumpa Malaikat Maut
Asy`ats bin Aslam berkata, "Suatu ketika Ibrahim a.s mengajukan
beberapa
pertanyaan kepada Malaikat Maut yang namanya adalah `Izrail. 'Wahai
Malaikat
Maut, apa yang Anda lakukan jika ada seorang manusia (yang sedang
sekarat)
di timur dan seorang lagi di barat, atau ketika negeri sedang
dilanda
wabah, atau ketika dua pasukan tentara sedang bertempur?'
Malaikat
Maut
menjawab, 'Kupanggil ruh-ruh itu dengan izin Allah hingga mereka berada
di
antara kedua jariku ini.' Dan Ibrahim a.s berkata, 'Kemudian bumi
diratakan
dan kelihatan seperti sebuah hidangan yang dia makan sebanyak yang
diinginkannya.'" Asy`ats berkata, "Ketika itulah Allah SWT memberinya kabar
gembira
bahwa beliau adalah Kekasih (khalil) (4:125) Allah SWT."
Sulaiman putra Daud a.s bertanya kepada Malaikat Maut, "Mengapa aku
tidak
melihatmu bertindak adil kepada umat manusia? Engkau mengambil nyawa
seorang
manusia tetapi membiarkan yang lain."
"Aku tidak mengetahui hal itu
lebih daripada
yang kau ketahui," jawabnya. "Aku hanya diberi daftar dan
buku-buku yang
berisi nama-nama."
Wahb bin Munabbih berkata, "Suatu ketika seorang raja berkeinginan
pergi ke
sebuah provinsi. Dia minta dibawakan seperangkat pakaian, tapi tak
ada di antara
pakaian itu yang menyenangkan hatinya. Setelah beberapa kali
memilih,
barulah dia menemukan pakaian yang disukainya. Dengan cara yang
sama, dia
meminta dibawakan seekor kuda, tapi ketika dibawakan, dia menolak
kuda itu. Lalu
kuda-kuda yang lain dibawakan kepadanya hingga akhirnya dia
menaiki kuda
yang paling baik di antaranya.
Kemudian setan mendatanginya dan
meniupkan
sifat takabur ke dalam lubang hidung raja itu.
Setelah itu, dia
dan
rombongannya memulai perjalanan dengan sikap penuh kesombongan. Akan
tetapi,
kemudian dia didekati oleh seseorang bertampang kusut, kumal, yang
mengucapkan
salam kepadanya. Ketika raja itu tidak menjawab salamnya, orang
itu kemudian
merampas tali kekang kudanya.
'Lepaskan tali kekangku !' bentak
sang raja.
'Engkau telah melakukan kesalahan besar !' Namun, orang itu malah
menukas, 'Aku
punya sebuah permintaan kepadamu.'
'Tunggu sebentar,' kata
raja, 'sampai
aku turun dari kudaku.'
'Tidak,' jawab orang itu. 'Sekarang
juga !' dan
dia lalu menarik tali kekang kuda sang raja.
'Baiklah, katakan
apa
permintaanmu,' kata raja.
'Permintaanku itu rahasia,' jawab orang itu.
Raja pun
menundukkan kepalanya kepada orang itu, dan orang asing itu
kemudian berbisik kepadanya, 'Aku adalah Malaikat Maut !'
Mendengar itu,
raja berubah
air mukanya. Lidahnya bergetar dan ia berkata,
'Beri aku
waktu
agar aku bisa
kembali kepada keluargaku untuk mengucapkan selamat tinggal
dan
membereskan urusan-urusanku.'
'Tidak, demi Allah,' kata Malaikat Maut.
'Engkau tidak
akan pernah melihat keluarga dan harta kekayaanmu lagi !'
Sambil berkata
demikian, Malaikat mencabut nyawa raja itu yang tak lama
kemudian
tersungkur mati, bagaikan sebongkah kayu kering."
"Kemudian Malaikat meneruskan perjalanannya. Dia berjumpa dengan
seorang
beriman yang membalas salamnya ketika dia mengucapkan salam
kepadanya.
'Aku punya permintaan yang ingin kubisikkan ke telingamu,' kata
Malaikat.
'Baiklah, akan kudengarkan,' kata orang itu.
Si Malaikat pun
membisikkan
rahasianya dan berkata, 'Aku adalah Malaikat Maut !' Orang
beriman itu
menjawab, 'Selamat datang, wahai siapa yang telah lama kunanti-nantikan.
Demi Allah, tak ada siapapun di muka bumi ini yang lebih
kunanti
daripada dirimu.'
Mendengar itu, Malaikat Maut berkata kepadanya,
'Selesaikanlah
urusanmu yang telah menjadi maksud keberangkatanmu.'
Namun,
orang itu
menjawab, 'Aku tidak mempunyai urusan lain yang lebih penting dan
lebih kucintai
daripada bertemu dengan Allah SWT.'
Dan Malaikat berkata
kepadanya,
'Kalau begitu, pilihlah keadaanmu yang paling kau sukai untuk aku
mengambil
nyawamu.'
'Apakah engkau bisa melakukannya?' orang itu bertanya.
Malaikat
menjawab, 'Ya, demikianlah aku diperintahkan.'
'Kalau begitu,
tunggulah aku
sebentar, agar aku bisa berwudhu dan shalat, lalu ambillah
nyawaku selagi
aku bersujud.' Dan Malaikat pun melakukan hal yang diminta
oleh orang
beriman itu."
Bakr bin `Abdullah Al-Mazani berkata, "Suatu ketika seorang
laki-laki
dari Bani
Israil mengumpulkan sejumlah besar kekayaan. Ketika dia telah
dekat dengan
ajalnya, dia berkata kepada anak-anaknya, 'Perlihatkanlah
kepadaku
berbagai macam kekayaanku !'
Lalu, dibawakanlah kepadanya sejumlah
besar kuda,
unta, budak, dan harta benda yang lain. Ketika dia melihat semua
itu, dia pun
mulai menangis karena tak kuasa berpisah dengannya. Melihat
orang itu
menangis, Malaikat Maut pun bertanya kepadanya, 'Mengapa engkau
menangis?
Sungguh, demi DIA yang telah memberimu anugerah semua ini, aku
tidak akan
meninggalkan rumahmu sebelum memisahkan nyawamu dari ragamu.'
'Berilah aku
waktu sebentar,' orang itu memohon kepadanya, 'agar aku bisa membagi-bagikan
kekayaanku.'
'Alangkah tololnya !' kata Malaikat Maut.
'Waktumu telah
berakhir. Seharusnya engkau telah mengerjakan hal itu sebelum
habis
waktumu.' Sambil berkata begitu, dicabutnyalah nyawa orang itu."
Diceritakan bahwa suatu ketika seorang laki-laki telah mengumpulkan
kekayaan yang
besar hingga tidak ada satu jenis kekayaan pun yang tidak
berhasil
diraihnya. Dia membangun sebuah istana dengan dua pintu gerbang
yang sangat
kuat. Dia membayar sepasukan pengawal yang terdiri dari
orang-orang
muda. Kemudian dia mengundang seluruh sanak keluarganya dan
menjamu mereka
dengan makanan. Setelah itu dia duduk di atas sofa sambil
mengangkat
kaki, sementara sanak keluarganya makan minum.
Setelah mereka selesai makan, dia berkata kepada dirinya sendiri,
'Bersenang-senanglah
selama bertahun-tahun karena aku telah mengumpulkan
semua yang
engkau butuhkan.' Akan tetapi, baru saja dia mengucapkan
perkataan itu,
datanglah Malaikat Maut dalam wujud seorang laki-laki
berpakaian
compang-camping seperti seorang pengemis.
Laki-laki itu memukul
pintu gerbang
dengan sangat keras dan mengejutkan orang kaya yang sedang
berada di atas
tempat tidurnya.
Orang-orang muda yang menjadi pengawalnya melompat dan bertanya,
'Apa
urusanmu di sini ?'
'Panggilkan tuanmu,' kata orang itu.
'Haruskah tuan
kami.. datang
menemui orang semacam engkau ini?' tanya mereka.
'Ya,'
jawabnya.
Dan
ketika mereka menyampaikan kepada tuan mereka hal yang
terjadi, dia
berkata, 'Kalian telah berbuat semestinya.'
Akan tetapi,
kemudian pintu
gerbang diketuk lagi dengan suara yang lebih keras daripada
sebelumnya.
Dan ketika para pengawal melompat untuk berbicara kepada orang
itu, dia
berkata, 'Katakan kepadanya bahwa aku adalah Malaikat Maut.'
Ketika mendengar perkataan orang itu, mereka menjadi ngeri dan orang
kaya itu juga
merasa sangat hina dan rendah. 'Berbicaralah kepadanya dengan
sopan,'
perintahnya kepada mereka.
'Dan tanyakan kepadanya apakah dia akan
mengambil
nyawa seseorang di rumah ini.' Namun kemudian Malaikat masuk dan
berkata,
'Berbuatlah sesuka hatimu karena aku tidak akan meninggalkan rumah
ini sebelum
aku mencabut nyawamu.'
Lalu orang kaya itu memerintahkan agar
semua
kekayaannya dibawa ke hadapannya. Setelah semuanya berada di depan
matanya, dia
berkata (kepada harta bendanya), 'Semoga Allah mengutukmu sebab
engkau telah
memalingkan aku dari beribadah kepada Tuhanku dan
menghalang-halangi
aku dari pengabdian kepada-Nya.'
Allah membuat harta bendanya berbicara, 'Mengapa engkau menghinaku
sedangkan
karena akulah engkau bisa diterima para sultan, padahal
orang-orang
yang bertakwa kepada Allah malah diusir dari pintunya? Karena
akulah engkau
bisa mengawini wanita-wanita lacur, duduk bersama raja-raja,
dan
membelanjakanku di jalan keburukan. Namun aku tak pernah membantah.
Seandainya
saja engkau membelanjakan aku di jalan kebaikan, niscaya aku
telah memberi
manfaat kepadamu. Engkau dan semua anak Adam diciptakan dari
tanah,
kemudian sebagian dari mereka memberikan sedekah, sedang yang lain
berbuat keji.'
Malaikat Maut pun segera mencabut nyawa orang kaya itu, dan
robohlah orang
itu ke lantai.
Wahb bin Munabbih berkata, 'Suatu ketika Malaikat Maut mencabut nyawa
seorang
penguasa tiran yang tidak ada tandingannya di muka bumi. Kemudian
Malaikat itu
naik kembali ke langit. Malaikat-malaikat lain bertanya
kepadanya,
'Kepada siapa di antara orang-orang yang telah kau cabut
nyawanya,
engkau telah menaruh belas kasihan?'
Malaikat itu menjawab, 'Suatu
ketika aku
pernah diperintahkan mencabut nyawa seorang perempuan di padang
pasir. Ketika
aku mendatanginya, dia baru saja melahirkan seorang anak
laki-laki. Aku
pun menaruh belas kasihan kepada perempuan itu karena
keterpencilannya
dan juga kasihan terhadap anak laki-laki perempuan itu,
karena betapa
dia masih sangat kecil namun tak terawat di tengah buasnya
padang pasir.'
Lalu para malaikat itu berkata, 'Penguasa lalim yang baru
saja engkau
cabut nyawanya itu adalah anak kecil yang dulu pernah engkau
kasihani.'
Malaikat Maut kemudian berujar, 'Maha Suci DIA yang
memperlihatkan
kebaikan kepada yang dikehendaki-Nya.'
Atha bin Yasar berkata, "Pada setiap tengah malam bulan Sya'ban,
Malaikat Maut
menerima lembaran tulisan dan dikatakan kepadanya, 'Tahun ini
engkau harus
mencabut nyawa orang-orang yang namanya tercantum dalam
lembaran ini.'
Seorang laki-laki boleh jadi sedang menanam tanam-tanaman,
mengawini
wanita-wanita, dan membangun gedung-gedung, sementara dia tak
menyadari
bahwa namanya ada dalam daftar tersebut."
Al-Hasan berkata, "Setiap hari Malaikat Maut memeriksa setiap rumah
tiga kali dan
mencabut nyawa orang-orang yang rezekinya telah habis dan
umurnya telah
berakhir. Apabila dia telah melakukan hal itu, maka seisi
rumah yang
bersangkutan akan meratap dan menangis. Sambil memegang gagang
pintu,
Malaikat Maut berkata, 'Demi Allah, aku tidak memakan rezekinya,
tidak
menghabiskan umurnya, dan tidak memperpendek batas hidupnya. Aku akan
selalu kembali
dan kembali lagi ke tengah-tengah kalian hingga tak ada lagi
yang tersisa
di antara kalian !'"
Al-Hasan
berkata, "Demi Allah,
seandainya
mereka bisa melihatnya berdiri di situ dan mendengar
kata-katanya,
niscaya mereka akan melupakan jenazah tersebut dan menangisi
diri mereka
sendiri."
Yazid Al-Ruqasyi berkata, "Ketika seorang penguasa lalim dari Bani
Israil sedang
duduk seorang diri di istananya tanpa ditemani oleh salah
seorang
istrinya, masuklah seorang laik-laki melalui pintu istananya.
Penguasa tiran
itu marah dan berkata, 'Siapa engkau? Siapa yang
mengizinkanmu
masuk ke dalam rumahku?'
Orang itu menjawab, 'Yang mengizinkan
aku masuk ke
dalam rumah ini adalah pemilik rumah ini. Sedangkan aku adalah
yang tak bisa
dihalangi oleh seorang pengawal pun dan tidak pernah meminta
izin untuk
masuk bahkan kepada raja-raja sekalipun, tidak pernah takut
kepada
kekuatan raja-raja yang perkasa, dan tidak pernah diusir oleh
penguasa tiran
yang keras kepala ataupun setan pembangkang.'
Mendengar itu, penguasa lalim tersebut menutup mukanya, dan dengan
tubuh gemetar
dia jatuh tersungkur. Kemudian dia bangkit dengan wajah
memelas.
'Jadi
engkau adalah Malaikat Maut?' tanyanya.
'Ya,' jawab laki-laki
itu.
'Sudikah
engkau memberiku kesempatan agar aku bisa memperbaiki
kelakuanku?' 'Alangkah bodohnya engkau,' jawab sang Malaikat, 'Waktumu telah
habis, napasmu
dan masa hidupmu telah berakhir; tidak ada jalan lagi untuk
memperoleh
penangguhan.'
Penguasa tiran itu lalu bertanya, 'Kemana engkau
akan
membawaku?'
'Kepada amal-amalmu yang telah engkau kerjakan sebelumnya.
Dan juga ke
tempat tinggal yang telah engkau dirikan sebelumnya,' jawab
Malaikat.
'Bagaimana mungkin,' kata sang tiran, 'Aku belum pernah
mempersiapkan
amal baik dan rumah baik yang bagaimanapun.'
Malaikat pun
menjawab,
'Kalau begitu, ke neraka, yang menggigit hingga ke pinggir-pinggir
tulang.' (QS
70 : 15, 16)
"Kemudian Malaikat mencabut nyawa sang tiran, dan dia pun jatuh mati
di tengah-tengah
keluarganya, di tengah-tengah mereka yang kemudian
meratap-ratap
dan menjerit." Yazid Al-Ruqasyi berkata, "Seandainya mereka
mengetahui
bagaimana buruknya neraka itu, tentu mereka akan menangis lebih keras
lagi."
Al-A`masy meriwayatkan dari Khaitsamah, bahwa suatu ketika Malaikat
Maut
mendatangi Sulaiman putra Daud a.s dan mulai mengamati salah seorang
dari
sahabat-sahabatnya. Ketika dia telah pergi, sahabat itu bertanya,
"Siapa
itu tadi?" Dan dikatakan kepadanya bahwa itu adalah Malaikat Maut.
Berkatalah
sahabat itu, "Kulihat dia memandangiku seolah-olah dia
mengincarku."
"Lantas, apa keinginanmu?" tanya Sulaiman.
"Saya ingin agar
Tuanku
menyelamatkan saya darinya dengan menyuruh angin membawa saya ke
tempat yang
paling jauh di India." (Sulaiman memiliki kemampuan mengatur
arah angin, QS
21 : 81). Angin pun kemudian
melakukan yang diperintahkan.
Ketika Malaikat Maut datang lagi, Sulaiman a.s bertanya kepadanya,
"Kulihat
engkau menatap terus-menerus ke arah salah seorang sahabatku?"
"Ya,"
kata Malaikat,
"Aku sangat heran sebab aku telah diperintahkan untuk
mencabut
nyawanya di bagian paling jauh di India dengan segera. Namun
melalui
engkau, dia malah sedang menuju ke tempat itu. Oleh karena itu, aku
heran."
(selesai ;
dikutip dari "Metode Menjemput Maut Perspektif Sufistik" :
Al-Ghazali,
penerbit Mizan)
Semoga Allah
Ta'Ala Terkasih senantiasa merahmati hamba-hamba-Nya yang
memang selalu
mensucikan qalbu dan jiwanya serta selalu merindukan Pertemuan
Abadi dengan-Nya Sang Cinta Sejati di hari-hari kini dan kelak nanti.