21.
KEDAHSYATAN SAAT MENJELANG MAUT
II
Bersamaan
dengan sakratul maut berturut-turut datang pula tiga macam
petaka.
Petaka yang pertama adalah kedahsyatan peristiwa dicabutnya ruh,
seperti
yang telah dijelaskan. Petaka yang kedua adalah menyaksikan wujud
Malaikat
Maut dan timbulnya rasa takut di dalam hati. Manusia yang paling
kuat
sekalipun tak akan sanggup melihat wujud Malaikat Maut saat menjalankan
tugasnya
untuk mencabut nyawa manusia yang penuh dosa.
Diriwayatkan
bahwa
suatu
ketika Ibrahim a.s, sahabat Allah, bertanya kepada Malaikat Maut,"Dapatkah
engkau memperlihatkan rupamu ketika mencabut nyawa manusia yang
gemar
melakukan perbuatan jahat?"
Malaikat
menjawab, "Engkau tidak akan
sanggup."
"Aku
pasti sanggup," jawab beliau.
"Baiklah,"
kata sang Malaikat.
"Berpalinglah
dariku."
Ibrahim a.s pun
berpaling darinya. Kemudian ketika
beliau
berbalik kembali, maka yang ada di hadapannya adalah seorang berkulit
legam
dengan rambut berdiri, berbau 'busuk' dan mengenakan pakaian berwarna
hitam.
Dari mulut dan lubang hidungnya keluar jilatan api. Melihat
pemandangan
itu, Ibrahim a.s pun jatuh pingsan, dan ketika beliau sadar
kembali,
Malaikat telah berubah dalam wujud semula.
Beliau
pun berkata,
"Wahai
Malaikat Maut ! Seandainya seorang pelaku kejahatan pada saat
kematiannya
tidak menghadapi sesuatu yang lain kecuali wajahmu, niscaya
cukuplah
itu sebagai hukuman atas dirinya."
Abu
Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Daud a.s adalah
seorang
manusia yang telaten (sangat peduli) terhadap istrinya dan akan
mengunci
semua pintu jika dia bermaksud meninggalkan rumahnya. Suatu hari,
setelah
beliau mengunci semua pintu dan pergi keluar rumah, istrinya masih
mendapati
seorang laki-laki di dalam rumahnya. 'Siapa yang mengizinkan
laki-laki
ini masuk?' tanyanya dalam hati. 'Seandainya Daud pulang, ia pasti
akan
marah.'
Ketika
Daud a.s pulang dan melihat laki-laki itu, beliau
bertanya,
'Siapa engkau?'
Laki-laki
itu menjawab, 'Aku yang tidak takut
kepada
raja dan tidak pernah bisa dihalangi oleh pengawal raja.'
'Jadi,
engkau
adalah Malaikat Maut.' kata Daud a.s. Dan
di tempat itu juga beliau
wafat."
Diriwayatkan
bahwa suatu ketika Isa a.s berjalan melewati sebuah
tengkorak.
Kemudian beliau menyentuh tengkorak itu dan berkata,
"Berbicaralah,
dengan izin Allah."
Tengkorak
itu pun berkata, "Wahai Ruh
Allah
! Aku adalah seorang raja yang berkuasa di suatu zaman. Suatu hari
ketika
aku duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkotaku dan
dikelilingi
oleh para menteriku, tiba-tiba muncul Malaikat Maut di hadapanku
sehingga
seluruh anggota badanku menjadi beku, dan nyawaku kembali ke
hadirat-Nya.
Ah, seandainya tak pernah ada saat perpisahan dengan
orang-orang
di sekelilingku, seandainya tak ada pemutus segala
kegembiraanku."
Ini adalah petaka yang menimpa para pendosa dan berhasil dihindari oleh
orang-orang
yang taat. Sesungguhnya, para nabi telah menceritakan sakratul
maut
selain kengerian yang dirasakan oleh orang yang melihat wujud Malaikat
Maut.
Bahkan seandainya seseorang hanya melihatnya dalam mimpi saja, niscaya
dia
tidak akan pernah merasakan lagi kegembiraan sepanjang hidupnya. Lalu,
bagaimana
pula jika orang secara sadar melihatnya dalam bentuk seperti itu?
Namun, manusia yang bertaqwa akan melihatnya (Malaikat Maut) dalam rupa
yang
bagus dan indah. Ikrimah (putra shalih dari Abu Jahal, red.) telah
meriwayatkan
dari
Ibn Abbas bahwa Ibrahim a.s adalah seorang manusia yang penuh
perhatian.
Beliau mempunyai rumah untuk beribadah dan selalu dikuncinya jika
dia
pergi. Pada suatu hari ketika pulang ke rumah, beliau melihat ada
seorang
laki-laki di dalamnya.
"Siapa yang mengizinkanmu masuk ke dalam
rumahku?"
tanya beliau.
Orang itu menjawab, "Aku diizinkan masuk oleh
Pemiliknya."
"Tapi akulah pemilik rumah ini," kata Ibrahim a.s.
Orang itu
berkata,
"Aku diizinkan masuk oleh DIA yang lebih berhak atas rumah ini
daripada
engkau ataupun aku."
"Kalau
begitu, Malaikat apakah engkau ini?"
tanya
beliau.
"Aku adalah Malaikat Maut," demikian orang itu menjawab.
Ibrahim
a.s lalu bertanya, "Dapatkah engkau memperlihatkan kepadaku rupamu
ketika
mencabut nyawa orang yang beriman (taat)?"
"Tentu saja," kata
Malaikat
itu. "Berpalinglah dariku."
Ibrahim pun berpaling, dan ketika berbalik kembali ke arah malaikat
itu,
maka berdiri di hadapannya seorang pemuda gagah dan tampan, berpakaian
indah
dan menyebarkan bau harum mewangi. "Wahai Malaikat Maut ! Seandainya
orang
yang beriman, taat, melihat rupamu pada saat kematian, niscaya
cukuplah
itu sebagai imbalan atas amal baiknya," kata beliau.
Petaka selanjutnya adalah melihat kedua Malaikat Pencatat Amal.
(Menurut
hadits yang dinisbatkan kepada Nabi, "Allah telah mengamanatkan
hamba-Nya
kepada dua malaikat yang mencatat amal-amalnya, baik dan buruk."
Ahmad
bin Mani`, Al-Musnad ; Ibn Hajar, Mathaalib, III.56).
Wuhaib
mengatakan,
"Telah disampaikan kepada kami bahwa tak seorangpun manusia yang
mati
kecuali akan diperlihatkan kepadanya dua malaikat yang bertugas
mencatat
amalnya. Jika dia seorang yang shalih, maka kedua malaikat itu akan berkata,
'Semoga Allah memberikan balasan yang baik kepadamu, sebab engkau
telah
menyatakan kami untuk duduk di tengah-tengah kebaikan, dan membawa
kami
hadir menyaksikan banyak perbuatan baikmu.'
Akan tetapi jika dia
adalah
seorang pelaku kejahatan, maka mereka akan berkata kepadanya, 'Semoga
Allah
tidak memberimu balasan yang baik sebab engkau telah hadirkan kami ke
tengah-tengah
perbuatan yang keji, dan membuat kami hadir menyaksikan banyak
perbuatan
buruk, memaksa kami mendengarkan ucapan-ucapan buruk. Semoga Allah
tidak
memberimu balasan yang baik.' Ketika
itulah orang yang sekarat itu
menatap
lesu ke arah kedua malaikat itu dan selamanya dia tidak akan pernah
kembali
ke dunia ini lagi."
Petaka yang ketiga dialami pada saat manusia-manusia yang berdosa
menyaksikan
tempat mereka di neraka, dan rasa takut juga telah mencekam
mereka
sebelum mereka menyaksikan peristiwa itu. Hal ini karena ketika
mereka
berada dalam sakratul maut, tenaga mereka telah hilang sementara ruh
mereka
mulai merayap keluar dari jasad mereka. Akan
tetapi, ruh mereka
tidaklah
keluar kecuali setelah mereka mendengar suara Malaikat Maut
menyampaikan
salah satu dari dua kabar.
Kabar tersebut berupa, "Rasakanlah,
wahai
musuh Allah, siksaan neraka !" Atau "Bergembiralah, wahai sahabat
Allah,
dengan surga !" Dari sinilah
timbul rasa takut di dalam hati
orang-orang
yang tak beraqal.
Nabi SAW bersabda, "Tak seorangpun di antara kalian yang akan
meninggalkan
dunia ini kecuali telah diberikan tempat kembalinya dan
diperlihatkan
kepadanya tempatnya di surga atau di neraka." (Ibn
Abi`l-Dunya,
K. Al-Maut ; Zabiidii, X.262)
Rasulullah SAW juga bersabda, "Barangsiapa mencintai pertemuan
dengan
Allah,
maka Allah pun akan senang bertemu dengannya ; dan barangsiapa
membenci
pertemuan dengan-Nya, maka DIA pun tidak akan senang bertemu
dengannya."
"Tetapi kami semua takut pada kematian," para sahabat berkata.
Beliau
pun menjawab, "Tidaklah sama sebab ketika penderitaan yang dijumpai
oleh
orang yang beriman (taat) dalam menempuh perjalanan menuju Allah telah
dihilangkan,
maka dia akan gembira bertemu dengan Allah, dan Allah pun
gembira
bertemu dengannya." (Muslim, Dzikr, 15)
Diriwayatkan pada suatu saat menjelang akhir malam, Hudzaifah bin
Al-Yaman
berkata kepada Ibn Mas`ud, "Bangunlah, dan lihatlah waktu apa
sekarang."
Ibn Mas`ud pun bangun dan melakukan hal yang diperintahkan
kepadanya,
dan ketika dia kembali, dia berkata, "Langit telah memerah."
Hudzaifah
kemudian berkata, "Aku berlindung kepada-Mu dari perjalanan pagi
menuju
neraka."
Suatu ketika, Marwan menemui Abu Hurairah dan berkata, "Ya Allah,
ringankanlah
bebannya." Tetapi Abu Hurairah menyahut, "Ya Allah,
perberatlah."
Lalu dia mulai menangis seraya berkata, "Demi Allah, aku
tidaklah
menangis karena sedih kehilangan dunia ini, tidak pula bersedih
karena
berpisah dengan kalian ; tapi aku sedang menanti salah satu di antara
dua
kabar dari Tuhanku : apakah kabar neraka ataukah kabar surga."
Diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Jika Allah SWT ridha terhadap
hamba-Nya,
maka DIA akan berfirman, 'Wahai Malaikat Maut, pergilah kepada si
Anu
dan bawalah kepada-Ku ruhnya untuk Kuanugerahi kebahagiaan. Amalnya
Kupandang
telah mencukupi : Aku telah mengujinya dan mendapatinya seperti
yang
Kuinginkan.' Malaikat itupun turun bersama lima ribu malaikat lain.
Semuanya
membawa tongkat yang terbuat dari kayu manis dan akar-akar tanaman
safron,
setiap malaikat itu menyampaikan pesan dari Tuhannya. Kemudian para
malaikat
itu membentuk dua barisan untuk mempersiapkan keberangkatan ruhnya.
Ketika
setan melihat mereka, dia meletakkan tangannya di atas kepalanya dan
menjerit
keras-keras. Para bala tentaranya bertanya, 'Ada apa, tuanku?'
Dia
menjawab,
'Tidakkah kamu lihat kehormatan yang telah diberikan kepada
manusia
ini? Apakah kalian tidak melakukan tugas kalian terhadap manusia
ini?'
Mereka menjawab, 'Kami telah berusaha sekeras-kerasnya terhadapnya,
tapi
dia tak bisa dipengaruhi.' " (Ibn
Abi`l-Dunya, K. Al-Maut ; Zabiidii,
X.267)
Al-Hasan berkata, "Tidak ada kebahagiaan bagi orang beriman kecuali
dalam
perjumpaannya dengan Allah, dan barangsiapa dianugerahi perjumpaan
tersebut,
maka hari kematiannya adalah hari kegembiraan, kebahagiaan,
keamanan,
kejayaan, dan kehormatan."
Menjelang ajalnya, Jabir bin Zaid ditanya apakah ada sesuatu yang
diinginkannya,
dan dia menjawab,
"Aku ingin menatap wajah Al-Hasan."
Ketika
Al-Hasan
datang menjenguknya, kepadanya dikatakan, "Inilah Al-Hasan."
Jabir
lalu
membuka matanya untuk memandang Al-Hasan dan berkata, "Wahai,
saudaraku.
Saat ini, demi Allah, aku berpamitan kepadamu untuk pergi, entah
ke
surga ataukah ke neraka."
Menjelang ajalnya, Muhammad bin Wasi berkata, "Wahai,
saudara-saudaraku.
Selamat tinggal! Aku pergi, entah ke neraka, ataukah
menuju
Ampunan Tuhanku."
Sebagian orang berangan-angan untuk tetap berada dalam saat-saat
kematian
dan tak pernah dibangkitkan untuk menghadapi pahala atau siksaan.
Oleh
karena itu, rasa takut terhadap kematian dalam keadaan berdosa (su`ul
khotimah)
mengoyak hati orang-orang arif, sebab hal itu termasuk ke dalam
petaka
dahsyat yang menyertai kematian. Kami telah menjelaskan makna "akhir
kehidupan
yang buruk" (su`ul khotimah) dan rasa takut orang-orang arif terhadapnya
di dalam 'Kitab Tentang Takut dan Harap' (dalam Ihya IV, kitab
ke-3).
Bab tersebut masih relevan dengan konteks pembicaraan sekarang.
Keadaan
Yang Diutamakan Pada Orang Yang Sekarat.
Ketahuilah bahwa raut wajah yang paling disukai dari orang yang sedang
sekarat
adalah raut wajah yang mencerminkan ketentraman dan ketenangan. Dan
dari
lidahnya terucap dua kalimah syahadat dan di hatinya terdapat prasangka
yang
baik kepada Allah SWT. Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda,
"Perhatikanlah
tiga tanda pada orang yang sekarat. Jika keningnya
berkeringat,
matanya basah oleh air mata, dan bibirnya mengering, berarti
rahmat
Allah SWT telah turun kepadanya. Akan tetapi, jika dia kelihatan
seperti
orang yang dicekik-cekik, warna kulitnya memerah dan mulutnya
berbusa,
maka itu adalah siksaan Tuhan yang ditimpakan atas dirinya."
(Al-Hakim
Al-Tirmidzi, 125)
Sementara itu lidah (hati) yang mengucapkan dua kalimah syahadat adalah
pertanda
yang baik. Abu Said Al-Khudri mengatakan, "Rasulullah SAW bersabda
'Bacakanlah
kepada orang-orangmu yang sedang sekarat [kata-kata] 'Tidak ada
Tuhan
selain Allah.'"
Dalam hadits
lain yang diriwayatkan oleh Hudzaifah
[Nabi
melanjutkan sabdanya] sebagai berikut 'Sebab kata-kata itu
menghapuskan
dosa-dosa yang telah lalu.' (Muslim, Janaaiz, I)
Utsman mengatakan, "Ketika seseorang berada di ambang ajal, maka
bacakanlah
kepadanya kalimat, 'Tidak ada tuhan selain Allah', sebab tak ada
seorangpun
manusia yang menjelang ajalnya mengucapkan kalimah tersebut
kecuali
hal itu akan menjadi bekal perjalanannya menuju surga."
Umar r.a berkata, "Hadirilah orang-orangmu yang akan meninggal dunia
dan
ingatkanlah mereka melihat hal yang tidak kamu lihat, dan bantulah
mereka
mengucapkan, 'Tidak ada tuhan selain Allah'".
Abu Hurairah mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,
'Suatu
ketika
Malaikat Maut mendatangi orang yang sedang sekarat. Setelah melihat
ke
dalam hatinya dan tidak menemukan apapun di situ, Malaikat itu lalu
membuka
janggut orang itu dan mendapati ujung lidahnya melekat pada
langit-langit
mulutnya selagi dia mengucapkan 'Tidak ada tuhan selain
Allah'.
Dosa-dosanya diampuni karena kalimat ikhlas yang telah
diucapkannya.'" (Thabrani, Al-Mu`jam Al-Kabir ; Zabiidii, X.275)
Seyogyanya orang yang memberikan bantuan itu tidak memaksa-maksa,
bahkan
dia mesti menggunakan cara yang lemah lembut karena bisa jadi lidah
orang
yang sekarat itu tak mampu mengucapkan kalimah syahadat. Sebaliknya,
rasa
tertekan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan lidahnya itu akan membuat
dia
merasakan dorongan tersebut sebagai beban berat dengan menimbulkan rasa
benci
terhadap kalimah syahadat. Dikhawatirkan hal itu justru akan
mengakibatkan
su'ul khatimah.
Sesungguhnya maksud kalimat ini adalah untuk
memastikan
bahwa seseorang yang akan meninggal dunia telah berhasil
mengosongkan
hatinya dari segala sesuatu selain Tuhan. Dengan demikian, jika
tak
ada lagi yang dituju selain Yang Esa, Al-Haqq, maka melalui kematian
kedatangannya
menghadap Sang Kekasih akan merupakan kebahagiaan yang
tertinggi.
Akan tetapi, bila hatinya masih diliputi perasaan cinta kepada
dunia,
condong kepadanya, dan menyesali hilangnya kenikmatan duniawi, maka
meskipun
kalimah syahadat itu berada di lidahnya, sedangkan hatinya TIDAK
memperkuat
ucapan itu, tentulah nasib orang itu akan bergantung kepada
Kehendak
Tuhan yang berisi segala kemungkinan. Ini terjadi karena gerak
lidah
saja tidak banyak membawa faedah kecuali jika Allah SWT, melalui
Rahmat-Nya,
berkenan menerimanya.
Adapun berbaik sangka terhadap Allah, maka hal ini sangat dianjurkan
pada
saat sakratul maut seperti ini. Kami telah menjelaskan hal itu dalam
kitab
tentang Takut dan Harap (Ihya IV, kitab ke-3). Berikut sejumlah hadits
mengenai
keutamaan berbaik sangka.
Suatu ketika, Watsilah bin Al-Asqa mengunjungi seseorang yang sedang
sakit
dan bertanya kepadanya,"Katakanlah kepadaku,bagaimana persangkaanmu
terhadap Allah ?"
"Aku telah bergelimang dalam dosa-dosa," kata orang itu,
"dan
berada di pinggir jurang kebinasaan. Namun, aku tetap mengharapkan
Rahmat
Tuhanku."
Mendengar ucapan itu, Watsilah berseru, "Allahu Akbar!"
dan
orang
seisi rumah pun mengikuti seruannya itu, "Allahu Akbar!" Kata
Watsilah,
"Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'bahwa Allah SWT
telah
berfirman 'Aku adalah sebagaimana persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku,
karena
itu terserah kepadanya bagaimana persangkaannya terhadap-Ku.' " (Ibn
Hanbal,
Musnad, II.251 ; Dariimi, Raqa'iq, 22)
Suatu ketika Rasulullah SAW mengunjungi seorang pemuda yang sedang
berada
di ambang ajal. "Bagaimana keadaanmu?" Beliau bertanya. Orang itu
menjawab,
"Saya telah menetapkan harapan saya kepada Allah, dan takut
terhadap
dosa-dosa saya." Beliau SAW bersabda, "Tidaklah kedua hal ini
bersatu
dalam hati seorang hamba dalam keadaan seperti ini, kecuali Allah
akan
menganugerahkan yang diharapkannya dan menyelamatkannya dari hal yang
ditakutinya."
(Tirmidzi, Janaa'iz, II ; Ibn Majah, Zuhd, 31)
Tsabit Al-Bunani berkata, "Pada suatu ketika ada seorang anak muda
yang
bergelimang
dalam perbuatan lacur. Ibunya sering mencelanya dengan berkata,
'Anakku,
waktumu akan datang, maka ingatlah itu.' Dan ketika datang takdir
Allah
atas diri anak muda itu, ibunyamembungkuk ke arahnya dan berkata,
'Wahai
anakku! Aku telah mengingatkanmu akan takdir ini, dan telah kukatakan
kepadamu
bahwa waktumu akan datang.' Anak muda itu menjawab, 'Wahai Ibu! Aku
punya
Tuhan yang sangat baik, dan aku berharap bahwa sedikit saja dari
Kebaikan-Nya
tidak akan melewatiku begitu saja pada hari ini.'"
Tsabit
berkata,
"Maka Allah pun mengasihi anak muda itu dikarenakan baik sangkanya
kepada
Tuhannya."
Jabir bin Wada`ah berkata, "Suatu ketika ada seorang pemuda yang
terjerumus
ke dalam kebodohan. Ketika ia mendekati ajalnya, ibunya berkata
kepadanya,
'Wahai anakku! Apakah engkau mempunyai permintaan terakhir?'
'Ya',
katanya. 'Jangan ambil cincinku sebab padanya terdapat nama Allah SWT, mudah-mudahan
dia akan mengasihiku.' Setelah
pemuda itu dikuburkan, dia
terlihat
di dalam mimpi dan mengatakan, 'Katakan kepada ibuku bahwa kalimah
syahadat
telah bermanfaat bagiku, dan bahwa Allah telah mengampuniku.'"
Suatu ketika seorang Badui jatuh sakit dan ketika dikatakan kepadanya
dia
akan mati, orang Badui itu bertanya, "Kemanakah aku akan dibawa?"
"Kepada
Allah," demikian jawaban yang diterimanya.
"Aku tidak bisa
membencinya,
karena aku akan dibawa kepada DIA yang menjadi sumber segala
kebaikan."
Al-Mu`tamir bin Sulaiman berkata, "Ketika ayahku mendekati ajal, dia
berkata,
'Wahai Mu`tamir! Berbicaralah kepadaku tentang
keringanan-keringanan
(rukhshah) agar aku bisa menemui Allah SWT dengan
membawa
prasangka baik terhadap-Nya.' "
Mereka (kaum Muslim generasi pertama) lebih menganjurkan agar amal-amal
baik
seorang hamba disebutkan kepadanya saat dirinya sedang sakratul maut
agar
dia berprasangka baik terhadap Tuhannya (lisan ah-hal : bukti yang
ditunjukkan
oleh keadaan lahiriah seseorang yang mencerminkan kondisi
emosional
batinnya).