15. DETIK-DETIK TERAKHIR KEHIDUPAN RASULLULLAH S.A.W  

Peristiwa tentang wafatnya seorang Pemimpin alam semesta, seorang Nabi dan Rasul Allah yang terakhir, Muhammad s.a.w. merupakan peristiwa yang maha besar. Isyarat tentang terjadinya peristiwa yang amat mengharukan itu antara lain terlukis dalam bunyi Khutbah Arafah yang dibawakan oleh Rasulullah dan juga bunyi firman Allah yang disampaikan oleh Malaikat Jibrail kepada Nabi Muhammad s.a.w. ketika beliau menunaikan Haji Wada' (Perpisahan).

"Pada hari ini Aku (Allah) sempurnakan bagimu Agamamu, Aku cukupkan nikmatKu untukmu dan Aku rela Islam sebagai agama anutanmu." (Al-Maidah-3)

Khutbah Arafah

Setelah mencucurkan keringat, darah dan air mata selama kurang lebih 23 tahun lamanya, berjuang bersama para sahabat beliau berjihad berdakwah menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan ilahi, akhirnya Allah merelakan Islam sebagai agama satu-satunya yang diridhoi-Nya.

Setelah berhala-berhala, patung-patung ciptaan manusia diruntuh-ratakan sebagai simbol runtuhnya kemusyrikan kemudian diisi beliau dengan air hikmah, Iman dan Tauhid yang murni, maka terasalah oleh beliau, bahwa ia tak lama lagi akan dipanggil Allah, berpisah dengan umat dan sahabat beliau.

Pada musim Haji tahun ke-10 Hijriah, bersama-sama kurang lebih 140.000 kaum Muslimin yang datang dari segenap penjuru Arabia, beliau pun menunaikan ibadah Haji Akbar yang bagi beliau sendiri merupakan Haji Perpisahan, karena beliau tidak dapat lagi bersama umatnya menunaikan ibadah suci itu pada tahun mendatang.

Dalam Haji wada' inilah beliau disamping menyampaikan mutiara wasiat bagi umat beliau juga menyelipkan ultimatum Allah kepada kaum Musyrikin, bahwa Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan hubungan (selain mu'amalah) dengan mereka karena aqidah mereka yang bernoda. Dan sejak tahun ke-9 Hijriah telah dibuat tapal batas tanah suci Makkah dan Madinah, dimana kaum kafir sama sekali tidak diijinkan menginjaknya sampai hari kiamat kelak.

Khutbah Arafah ini disamping merupakan pegangan hidup dan matinya kaum muslimin adalah juga merupakan piagam perdamaian yang bermakna sosial yang tinggi, diucapkan beliau dari atas untanya di Namirah dekat bukit Arafah yang terletak di tengah-tengah padang Arafah yang luas. Berikut ini adalah sebagian khutbah beliau:

"Wahai manusia sekalian, dengarkan nasihatku baik-baik, karena barangkali aku tidak dapat lagi bertemu muka dengan kamu semua di tempat ini ! Tahukah kamu semua, hari apakah ini?", yang dijawab sendiri oleh beliau :

"Inilah hari Nahar, hari kurban yang suci. Tahukah kamu bulan apakah ini? Inilah bulan suci. Tahukah kamu tempat apakah ini? Inilah kota yang suci".

Haram menumpahkan darah.

"Maka dari itu aku permaklumkan kepada kamu semua bahwa darah dan nyawamu, harta bendamu dan kehormatan yang satu terhadap yang lainnya haram atas kamu sampai kamu bertemu dengan Tuhanmu kelak. Semua harus kamu sucikan sebagaimana sucinya hari ini, sebagaimana sucinya bulan ini dan sebagaimana sucinya kota ini. Hendaklah berita ini disampaikan kepada orang-orang yang tidak hadir di tempat ini oleh kamu sekalian ! Bukankah aku telah sampaikan?!".

Hapuskan Riba

"Hari ini hendaklah dihapuskan segala macam bentuk riba. Maka barang siapa yang memegang amanah di tangannya, maka hendaklah ia bayarkan kepada yang empunya. Dan sesungguhnya Riba Jahiliah itu adalah batil. Dan awal riba yang pertama sekali aku sapu bersih adalah riba yang dilakukan oleh pamanku sendiri, Abbas bin Abd. Mutthalib".

"Hari ini haruslah dihapuskan semua bentuk pembalasan dendam pembunuhan Jahiliah, dan penuntutan darah ala Jahiliah yang mula pertama aku hapuskan adalah atas tuntutan darah Amir bin Haris".

"Wahai manusia !, Hari ini Setan telah putus asa untuk dapat disembah pada bumimu yang suci ini. Tetapi ia bangga bila kamu dapat menaatinya walaupun dalam perkara yang kelihatannya kecil sekalipun, maka waspadalah kamu atasnya ! Hai manusia ! Sesungguhnya zaman itu beredar semenjak menjadikan langit dan bumi".

Pegangan Hidup.

"Wahai manusia ! Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kamu sesuatu, yang bila kamu pegang ia erat-erat niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu : Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Hai manusia dengarkanlah baik-baik apa yang aku ucapkan kepadamu, niscaya kamu bahagia selamanya dalam hidupmu!".

Persaudaraan Islam

"Wahai manusia ! Kamu hendaklah mengerti, bahwa orang-orang beriman itu adalah bersaudara. Maka bagi masing-masing pribadi di antara kamu terlarang keras untuk mengambil harta saudaranya kecuali dengan izin hati yang ikhlas. Bukankah aku telah menyampaikan ?!"

"Janganlah kamu setelah aku meninggal nanti kembali kepada kafir, dimana sebagian kamu mempermainkan senjata untuk menebas batang leher kawannya yang lain . Karena, bukankah telah aku tinggalkan untukmu pedoman yang benar, yang bila kamu ambil ia sebagai pegangan dan suluh kehidupanmu tentu kamu tidak akan sesat, yakni Kitab Allah".

"Hai Umat, bukankah telah aku sampaikan kepadamu ?  Ya..Allah saksikanlah...!"

Persamaan Hak

"Hai manusia ! Sesungguhnya Tuhan kamu itu tunggal, dan sesungguhnya kamu berasal dari satu Bapak. Semua kamu dari Adam dan Adam terjadi dari tanah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu semua di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa, tidak sedikitpun ada kelebihan bangsa Arab itu dari yang bukan Arab, kecuali dengan taqwa".

"Hai umat, bukankah aku telah menyampaikan ?! ya..Allah saksikanlah ! Maka hendaklah barang siapa yang hadir di antara kamu di tempat ini berkewajiban untuk menyampaikan pesan wasiat ini kepada mereka yang tidak hadir !"

Setelah Nabi mengakhiri Khutbah Al-Wada' yang amat berkesan itu dengan nada suaranya yang tinggi sambil menunjuk ke langit, maka berteriak pulalah para jemaah haji yang sedang berkumpul  di padang Arafah itu menyahut serentak dengan suaranya yang lantang bergema membahana, membelah kesunyi-senyapan padang pasir yang luas tandus itu dengan beramai-ramai mengucapkan : "Demi Allah ! Sesungguhnya Engkau (Muhammad) telah menyampaikan amanah perintah-perintah Tuhanmu !"

Setelah mengikuti Khutbah Rasulullah kepada umatnya, mari kita lanjutkan riwayat yang melukiskan peristiwa besar tentang wafatnya Nabi kita Muhammad s.a.w. berikut :

Diriwayatkan, bahwa setelah turun wahyu Al-Quran, surat Al-Maidah ayat 3 seperti tersebut di atas, menangislah Umar bin Katthab r.a. Maka Nabi s.a.w. berkata kepadanya : "Apakah gerangan yang menyebabkan engkau menangis hai Umar ?", tanya Rasulullah.

Umar menjawab : "Kita semua sudah berada dalam agama yang sempurna lengkap. Tetapi bila ia sudah berada pada titik puncak kesempurnaan, maka di atas itu tidak ada lagi yang lain, kecuali suatu kemundurun".

Nabi menukas: "Benarlah engkau !"

Surat Al-Maidah ayat 3 diturunkan di Padang Arafah pada  hari Jum'at sesudah Ashar, yakni di saat Nabi berkendaraan di atas untuanya. Sesudah itu apa-apa yang berkenaan dengan perintah-perintah yang fardhu tidak turun-turun lagi dari langit.

Pada mulanya Nabi tidak mampu untuk menduga-duga kemungkinan-kemungkinan yang terselip dalam arti ayat di atas sehingga beliau terengah dan bertelekan di atas untanya saja. Unta pun berhenti terhenyak dan malaikat Jibrail pun datanglah sambil berkata kepada Nabi :

"Ya....Muhammad ! Hari ini telah sempurna urusan agamamu, telah selesai apa yang diperintahkan Tuhanmu dan juga segala apa yang dilarang-Nya. Dari itu kumpulkanlah semua sahabatmu, dan beritahukan kepada mereka, bahwa saya tidak akan turun-turun lagi membawa wahyu kepadamu sesudah hari ini !".

Maka pulanglah Nabi dari Makkah kembali ke Madinah. Dan disana dikumpulkanlah oleh beliau para sahabatnya dan dibacakanlah ayat ini kepada mereka serta diberitahukannya apa yang dikatakan Jibrail kepadanya itu.

Semua sahabat menjadi gembira mendengarnya kecuali Abu Bakar r.a. dan para sahabat itu berkata : "Telah sempurnalah agama kita!". Tetapi Abu Bakar pulang kerumahnya sendirian dalam keadaan murung dan sedih. Dikuncinya pintu rumahnya dan ia pun sibuk menangis sepanjang malam dan siang. Hal itu didengar oleh para sahabat dan mereka berkumpul bersama-sama untuk mendatangi rumah Abu Bakar.

Sahabat bertanya : "Kenapa kerjamu menangis saja hai Abu Bakar di saat orang lain semua bersuka-ria, bukankah Tuhan telah menyempurnakan agama kita ?".

Abu Bakar menjawab : "Kamu semua tidak tahu bencana-bencana apakah kelak yang akan terjadi menimpa kita semua. Apakah kamu tidak mengerti : bahwa tidak ada sesuatu apabila ia telah sampai kepada titik kesempurnaan, melainkan itu berarti permulaan kemerosotannya. Dalam ayat terbayang perpecahan di kalangan kita nanti, dan nasib Hasan dan Husein yang akan menjadi anak yatim, serta para isteri Nabi yang menjadi Janda ".

Mendengar itu terpekiklah para sahabat dan dalam suasana penuh keharuan mereka menangislah semuanya, dan terdengarlah ratap tangis yang sayu dari rumah Abu Bakar itu oleh para tetangga yang lain dan mereka ini datang segera langsung kepada Nabi Muhammad s.a.w. sendiri sambil menanyakan kepada beliau tentang hakikat kejadian yang sebenarnya.

"Ya Rasul Allah, kami tidak tahu keadaan yang menimpa diri para sahabat, kecuali kami hanya mendengar pekik-tangis mereka belaka".

Mendengar itu berubahlah wajah Rasulullah dan ia pun segera berdiri menuju tempat para sahabat. Setelah dilihatnya para sahabat dalam keadaan demikian rupa, beliau pun bertanya : "Apakah yang kalian tangiskan ?"

Menjawablah Ali : "Abu Bakar berkata kepada kami: ‘Sesungguhnya saya mendengar angin kematian Rasulullah berdesir melalui ayat ini,’ dan bukanlah dapat dijadikan bukti ayat ini bagi kematian engkau ?"

Nabi menjawab : "Benarlah Abu Bakar dalam segala apa yang dikatakannya itu. Telah dekat masa kepergianku dari antara kamu semua, dan telah datang masa perpisahanku dengan kamu semua".

Penegasan Nabi itu adalah isyarat, bahwa benarlah Abu Bakar seorang yang paling arif di antara para sahabat Nabi. Dan ketika Abu Bakar mendengar ucapan Nabi itu ia pun berteriak dan lantas jatuh pingsan. Ali menjadi gemetar, para sahabat menjadi gelisah; mereka semua ketakutan dan menangis menjadi-jadi. Begitu juga para malaikat di langit, makhluk-makhluk melata di bumi, hewan-hewan di daratan dan di lautan semuanya turut berkabung duka cita.

Kemudian Nabi bersalam berjabatan-tangan dengan satu demi satu para sahabat mengucapkan perpisahan dan beliau pun menangislah sambil memberikan amanah-nasehat kepada mereka semua.

Setelah turun ayat Al-Qur'an yang terakhir itu, Nabi Muhammad s.a.w. masih menjalani hidupnya 81 hari lagi. Ya demikianlah setelah ayat itu turun beliau naik ke atas mimbar mengucapkan khutbah sambil menangis, dan hadirin mendengarkannya sambil bercucuran air mata pula. Suatu khutbah yang mendebarkan hati dan menegakkan bulu roma, tetapi di samping itu juga khutbah yang mengungkapkan harapan-harapan dan peringatan-peringatan.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa setelah dekat waktu wafatnya, Rasulullah memerintahkan Bilal supaya adzan, memanggil manusia untuk sholat berjama'ah. Maka berkumpullah kaum Muhajirin dan Anshor ke Masjid Rasulullah s.a.w. Setelah selesai sholat dua raka'at yang ringan kemudian beliau naik ke atas mimbar lalu mengucapkan puji dan sanjung kepada Allah SWT, dan kemudian beliau membawakan khutbahnya yang sangat berkesan, membuat hati terharu dan menangis mencucurkan air mata.

Beliau berkata antara lain : "Sesungguhnya saya ini adalah Nabimu, pemberi nasihat dan da'i yang menyeru manusia ke jalan Tuhan dengan izin-Nya. Aku ini bagimu bagaikan saudara yang penyayang dan bapak yang pengasih. Siapa yang merasa teraniaya olehku di antara kamu semua, hendaklah dia bangkit berdiri sekarang juga untuk melakukan qisas kepadaku sebelum ia melakukannya dihari Kiamat nanti".

Sekali dua kali beliau mengulangi kata-katanya itu, dan pada ketiga kalinya barulah berdiri seorang laki-laki bernama Ukasyah Ibnu Muhsin. Ia berdiri di hadapan Nabi s.a.w. sambil berkata :

"Ibuku dan ayahku menjadi tebusanmu ya Rasulullah. Kalau tidaklah karena engkau telah berkali-kali menuntut kami supaya berbuat sesuatu atas dirimu, tidaklah aku akan berani tampil untuk memperkenankannya sesuai dengan permintaanmu.”

“Dulu, aku pernah bersamamu di medan perang Badar sehingga untaku berdampingan sekali dengan untamu, maka aku pun turun dari atas untaku dan aku menghampiri engkau, lantas aku pun mencium paha engkau.”

“Kemudian engkau mengangkat cambuk memukul untamu supaya berjalan cepat, tetapi engkau sebenarnya telah memukul lambung-sampingku; saya tidak tahu apakah itu dengan engkau sengaja atau tidak ya...Rasul Allah, ataukah barangkali maksudmu dengan itu hendak melecut untamu sendiri ?".

Rasulullah menjawab: "Maha suci Allah ya Ukasyah, bahwa aku akan bermaksud memukul engkau dengan sengaja". (nampaknya Rasulullah ingin menghindarkan peristiwa ini agar tidak ditiru oleh umat beliau yang lain dan agar tidak terjatuh pada pemahaman islam yang dangkal - pen).

Kemudian Nabi menyuruh Bilal supaya pergi ke rumah Fatimah, "supaya Fatimah memberikan kepadaku cambukku"' kata beliau. Bilal segera ke luar Masjid dengan tangannya diletakkannya di atas kepalanya keheranan sambil berkata sendirian: "Inilah Rasulullah memberikan kesempatan mengambil qisas terhadap dirinya!".

Diketoknya pintu rumah Fatimah yang menyahut dari dalam  : "Siapakah di luar ?"

"Saya datang kepadamu untuk mengambil cambuk Rasulullah" jawab Bilal.

"Apakah yang akan dilakukan ayahku dengan cambuk ini?" tanya Fatimah kepada Bilal.

"Ya Fatimah ! Ayahmu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengambil qisas terhadap dirinya"' Bilal menegaskan.

“Siapakah pula gerangan orang itu yang sampai hati mengqisas Rasulullah ?" tukas Fatimah keheranan.

Bilal pun mengambil cambuk dan membawanya masuk Masjid, lalu diberikannya kepada Rasulullah, dan Rasulullah pun menyerahkannya ke tangan Ukasyah.

Tatkala hal itu dilihat oleh Abu Bakar dan Umar r.a., keduanya berkata kepada Ukasyah: "Hai Ukasyah ! kami sekarang berada dihadapanmu, pukul qisas-lah kami berdua, dan jangan sekali-kali engkau pukul Rasulullah s.a.w. !"

Rasulullah menyela dengan katanya : "Duduklah kalian berdua, Allah telah mengetahui kedudukan kamu berdua !".

Kemudian berdiri pula Ali bin Abi Tholib sambil berkata : "Hai Ukasyah ! Saya ini sekarang masih hidup di hadapan Nabi s.a.w. Aku tidak sampai hati melihat kalau engkau akan mengambil kesempatan qisas memukul Rasulullah. Inilah punggungku, maka qisaslah aku dengan tanganmu dan deralah aku dengan tangan engkau sendiri!".

Nabi pun menukas pula :

"Allah S.W.T. telah tahu kedudukanmu dan niatmu, wahai Ali"!  Kemudian tampil pula kedua kakak beradik, Hasan dan Husein. "Hai Ukasyah ! Bukankah engkau telah mengetahui, bahwa kami berdua ini adalah cucu kandung Rasulullah, dan qisaslah kami dan itu berarti sama juga dengan mengqisas Rasulullah sendiri !".

Tetapi Rasulullah menegur pula kedua cucunya itu dengan berkata:"Duduklah kalian berdua, wahai penyejuk mataku !". Dan akhirnya Nabi berkata : "Hai Ukasyah ! Pukullah aku jika engkau berhasrat mengambil qisas !".

"Ya Rasul Allah ! Sewaktu engkau memukul aku dulu, kebetulan aku sedang tidak lekat kain di badanku," kata Ukasyah.

Lantas tanpa bicara Rasulullah segera membuka bajunya, maka berteriaklah kaum Muslimin yang hadir sambil menangis. Maka tatkala Ukasyah melihat putih tubuh Rasulullah, ia segera mendekap tubuh Nabi sepuas-puasnya sambil berkata :

"Tebusanmu adalah Rohku ya Rasul Allah, siapakah yang tega sampai hatinya untuk mengambil kesempatan mengqisas engkau ya Rasul Allah ? Saya sengaja berbuat demikian hanyalah karena berharap agar supaya tubuhku dapat menyentuh tubuh engkau yang mulia, dan agar supaya Allah S.W.T. dengan kehormatan engkau dapat menjagaku dari sentuhan api neraka ".

Akhirnya berkatalah Nabi s.a.w.: "Ketahuilah wahai para sahabat ! Barang siapa yang ingin melihat penduduk surga, maka melihatlah kepada pribadi laki-laki ini !". Lantas bangkit berdirilah kaum Muslimin beramai-ramai mencium Ukasyah di antara kedua matanya dan mereka berkata : "Berbahagialah engkau yang telah mencapai derajad yang tinggi dan menjadi teman Rasulullah s.a.w. di surga kelak !".

Ya Allah ! demi kemuliaan dan kebesaran Engkau mudahkan jugalah bagi  kami mendapatkan syafa'atnya Rasulullah s.a.w. di kampung akhirat yang abadi ! Amien ! (Mau'idzatul Hasanah)

Berkata Ibnu Mas'ud (salah seorang diantara sahabat Nabi yang terdekat) :

Di kala telah dekat waktu wafatnya Rasulullah s.a.w. kami berkumpul bersama-sama di rumah ibu kita Aisyah r.a. Nabi menoleh kepada kami dan kemudian kedua matanya mencucurkan air mata, dan kemudian beliau berkata antara lain :

"Ahlan, wassalaamu'alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh (Selamat datang bagi kalian semua, semoga Allah melimpahkan rahmat Nya kepada kamu!). Aku berwasiat kepada kamu semua agar bertaqwalah dengan taat kepada-Nya. Telah dekat masa perpisahan dan waktu pulang kepada Allah dan kepada Surga Al-Makwa. Hendaklah Ali memandikan saya, Al-Fadhal bin Abbas dan Usamah bin Zaid yang menuangkan air, dan kemudian kafanilah aku dengan kainku jika kamu menghendaki yang demikian atau dengan kain putih buatan Yaman !".

"Apabila kamu telah selesai memandikanku letakkanlah jenazahku diatas tempat tidurku di rumahku ini di atas pinggir lubang kuburku.Kemudian bawalah aku keluar sesaat, maka awal pertama kali yang memberi sholawat kepadaku adalah Allah 'Azza wa Jalla sendiri, kemudian Jibrail, kemudian Mikail, kemudian Israfil, kemudian malaikat Maut (Izrail) bersama pasukannya dan kemudian segenap para Malaikat. Sesudah itu barulah kamu masuk kepadaku rombongan demi rombongan dan sholatkanlah aku bersama-sama!".

Setelah para sahabat mendengar kata-kata amanah perpisahan Rasulullah s.a.w. mereka menjerit dan menangis dan kemudian berkata : "Ya Rasul Allah ! Engkau adalah Rasul kami, penghimpun pembina kekuatan kami dan penguasa urusan kami, apabila engkau pergi dari kalangan kami, kepada siapakah gerangan lagi kami serahkan urusan kami ?".

Maka menjawablah Nabi s.a.w. antara lain demikian bunyinya :

"Aku tinggalkan kamu di atas jalan yang terang, dan aku tinggalkan untukmu dua juru nasehat: yang berbicara dan yang diam. Penasehat yang berbicara ialah Al-Qur'an dan yang diam ialah Maut. Apabila kamu menghadapi persoalan-persoalan yang musykil, maka kembalilah kepada Al-Qur'an dan Sunnah, dan apabila hatimu kesat-kusut, maka tuntunlah dia dengan mengambil iktibar(mengambil hikmah) tentang peristiwa-peristiwa maut !".

Setelah itu Rasulullah jatuh sakit pada akhir bulan Safar dan tetap sakit selama 18 hari (ada yang mengatakan 13 hari dan ada pula yang mengatakan 7 hari) yang senantiasa dijenguk oleh para sahabat. Adalah beliau menderita sakit kepala sampai beliau berpulang ke Rahmatullah.

Beliau diangkat Allah menjadi Rasul pada hari senin dan meninggal dunia pada hari senin juga. Pada  hari  akhir  hayat beliau, penyakit beliau bertambah berat. Dalam keadaan beliau yang kritis itu, beliau masih terkenang kepada kaum fakir-miskin dan melarat, dan teringat bahwa masih ada uang simpanannya sebanyak 7 dinar dalam rumahnya. Disuruhnya istrinya tercinta, Siti Aisyah r.a. untuk mengambilkan uangnya itu sambil berkata :

"Bagaimana gerangan persangkaan Muhammad terhadap Tuhannya, sekiranya ia menemui Tuhannya sedang di tangannya tergenggam benda ini ?" .

Kemudian diserahkannyalah harta miliknya yang terakhir itu kepada fakir-miskin sebagai nilai kebajikan.

Setelah Bilal menyerukan adzan di waktu Subuh dengan semerdu-merdu  suaranya ia pun berdiri di muka pintu rumah Rasulullah, maka ia pun memberi salam.

"Assalamu'alaikum ya Rasul Allah!"

Menyahutlah Fatimah, puteri tersayang beliau yang senantiasa mendampingi ayahnya di kala sakit. "Rasulullah sedang sibuk dengan dirinya sendiri".

Kemudian Bilal pergi ke Masjid dan ia tidak mengerti kata-kata Fatimah itu. Tatkala sholat Subuh akan dimulai, maka ia datang ke rumah untuk kedua kalinya dan ia berdiri di pintu sambil mengucapkan salam seperti semula. Kali ini suaranya didengar Rasulullah dan lantas menyuruhnya masuk dengan katanya : "Masuklah engkau Bilal  ! Saya sibuk merawat diri saya dan sakitku bertambah berat. Hai Bilal, suruhlah Abu Bakar memimpin (Imam) Sholat berjamaah!".

Kemudian Bilal pun keluar rumah menuju ke Masjid sambil menangis dan tangannya diletakkan di atas kepalanya dan sambil mengeluh ia berkata:

"Oh, musibah, putuslah harapan dan patahlah semangat ! Wahai kiranya, alangkah baiknya kalau aku tidak dilahirkan ibuku!". Kemudian ia masuk ke dalam Masjid memanggil Abu Bakar.

"Hai Abu Bakar !”, ujarnya. “Sesungguhnya Rasulullah menyuruh engkau tampil supaya mengimami orang banyak karena beliau sangat sibuk sekali dengan keadaan yang menimpa diri beliau".

Waktu Aisyah mendengar Rasulullah menyuruh ayahnya untuk mengimami sholat, ia mengemukakan keberatannya yang sangat kepada Rasulullah, karena katanya, ayahnya adalah orang lemah.

"Ayahku, Abu Bakar adalah orang yang lemah, dan bila ia menggantikan kedudukan engkau, niscaya ia tidak mampu kelak", ujar Aisyah. Karena menurut pandangan Aisyah, bahwa konsekuensi menjadi imam itu adalah berat, karena bukan saja seorang itu mampu jadi Imam di Masjid, tetapi juga harus mampu menjadi Imam dalam masyarakat sebagai insan teladan. Dan menurut Aisyah, ayahnya adalah orang lemah yang tidak akan mampu mengemban dan mendukung tugas amanah yang berat itu.

Berkali-kali Aisyah mengemukakan keberatannya, sehingga Nabi marah, dan alasan Siti Aisyah itu tidak dihiraukan oleh beliau, karena ia lebih tahu menilai kecakapan para sahabatnya daripada isterinya Aisyah itu. Beliau tetap memerintahkan dan berkata sekali lagi:

"Suruhlah Abu Bakar memimpin sholat bersama orang banyak !" Demikianlah akhirnya Abu Bakar sempat mengimami sholat jama'ah bersama kaum muslimin selama 17 waktu menjelang akhir hayat Rasulullah.

Ingatlah akan dua juru nasehat yaitu Al-Qur'an yang akan membimbing dan menuntun kita hingga sampai pada tujuan hidup yang hakiki, dan Maut yang batasnya dengan Hidup adalah jauh lebih tipis dari selembar rambut kita sehingga akan membuat hidup lebih berhati-hati detik demi detik. Serta ingatlah bahwa harta yang engkau genggam selain bisa menyelamatkanmu bahkan sanggup menyengsarakan kehidupanmu tidak hanya di dunia juga kelak di akhirat.

Tatkala Abu Bakar melihat ke mihrab Rasulullah, memang ia melihat mihrab dalam keadaan kosong dari kehadiran Rasul, sehingga ia tidak dapat menguasai dirinya sehingga terpekik dan kemudian ia keluar kembali dalam suasana yang penuh duka cita. Maka menjadi gemparlah kaum Muslimin dan kegemparan itu terdengar oleh Rasulullah.

Kepada Fatimah beliau bertanya : "Ada apa ini pekik dan kegemparan ?".

"Kaum Muslimin menjadi gempar karena mereka tidak melihat ayah berada di kalangan mereka", jawab Fatimah.

Rasulullah kemudian memanggil Ali bin Abi Tholib dan Fadhal bin Abbas untuk membimbing beliau pergi ke Masjid, dan beliau pun sempat berjamaah bersama mereka pada hari Senin itu. Rasulullah memang memaksakan dirinya pergi ke Masjid pada pagi Subuh terakhir itu untuk memberikan ketentraman ke dalam hati umatnya yang sedang resah dan kuatir. Anas bin Malik (seorang sahabat pembantu rumah tangga Rasulullah yang setia selama sepuluh tahun sampai Rasulullah wafat) mengatakan :

"Saya tidak pernah melihat Nabi secerah berseri seperti halnya dengan keadaan beliau di kala Subuh terakhir itu".

Ya, sambil tersenyum beliau melambaikan tangannya kepada para jemaah yang ramai berdesak-desak itu, demi untuk menghibur dan membujuk jiwa mereka yang sedang dirundung gelisah dan cemas selama ini.

Kemudian setelah selesai menunaikan Shalat berjamaah, maka beliau menghadapkan wajahnya kepada orang banyak sambil berkata :

"Wahai kaum Muslimin ! Kamu semua berada di bawah perlindungan Allah dan penjagaan-Nya. Janganlah lupa bertaqwa kepada Allah dan mentaatiNya, karena aku tak lama lagi akan meninggalkan dunia ini. Inilah awal hari akhirat bagiku dan akhir hari duniaku !"

Kemudian beliau berdiri dan pergi masuk ke dalam rumah beliau. Setelah itu Allah SWT, memberi perintah kepada Malaikat Maut :

"Turunlah engkau kepada kekasih-Ku dengan rupa sebagus-bagusnya dan bersikap lemah lembutlah kepadanya dalam menggenggam rohnya. Apabila ia telah memberi izin kepadamu, maka barulah engkau boleh masuk ke dalam rumahnya. Tetapi apabila ia tidak memberi izin maka janganlah engkau masuk dan kembali sajalah !".

Maka turunlah Malaikat Maut (Izrail) ke dunia dengan roman muka seorang Arab, lalu mengucapkan salam :

"Assalaamu'alaikum, wahai para keluarga rumah tangga Nabi dan sumber kerasulan ! Apakah saya diijinkan masuk ?"

Fatimah menjawab dengan berkata : "Hai hamba Allah, sesungguhnya Rasulullah sedang sibuk dengan dirinya !".

Kemudian Malaikat Maut itu berseru untuk kedua kalinya : "Assalaamu'alaikum ya Rasul Allah dan wahai keluarga rumah tangga kenabian, apakah saya diperbolehkan masuk ?"

Nabi s.a.w. mendengar suara itu, maka ia bertanya : "Hai Fatimah, siapakah itu gerangan yang berada di pintu ?".

"Seorang lelaki Arab memanggil ayah, telah aku katakan kepadanya, bahwa Rasulullah sibuk dengan dirinya sendiri. Kemudian orang itu memanggil sekali lagi dan telah saya berikan jawaban yang sama, tetapi ia memandang kepadaku, maka tegak meremanglah bulu roma kulitku, takutlah hatiku, gemetar segala tulang persendianku dan pucatlah aku", jawab Fatimah.

Maka berkatalah Nabi s.a.w. : "Tahukah engkau siapakah sebenarnya orang itu ya Fatimah ?".

"Tidak tahu ayah ", sahut Fatimah.

Berkatalah Rasulullah s.a.w. : "Itulah dia pemusnah segala kelezatan hidup, pemutus segala kesenangan, pencerai-berai persatuan, peroboh rumah tangga dan penambah ramainya penghuni kubur".

Mendengar itu, menangislah Fatimah dengan tangisnya yang keras menjadi-jadi, melolong dan ia berkata :

"Wahai ! akan meninggal kiranya penutup para Nabi;”

"Wahai bencana ! akan berpulang kiranya orang taqwa terbaik, dan akan lenyaplah Pemimpin dari segala tokoh orang suci”.

"Ah..., celaka ! pasti terputuslah wahyu dari langit. Akan terhalanglah aku dari mendengar kata-kata ayah mulai hari ini, dan aku tidak pernah lagi mendengarkan salam ayah sejak hari ini".

Nabi menjawab : "Ya Fatimah ! Engkaulah keluargaku yang pertama kali berhubungan dengan aku". Dan kemudian beliau berkata kepada Malaikat Maut yang sedang menunggu di luar,

"Silahkan engkau masuk hai Malaikat Maut !"

Maka Malaikat Maut pun masuklah sambil mengucapkan salam : "Salam sejahtera atasmu ya Rasul Allah !" yang lalu dijawab oleh Nabi s.a.w.

"Dan juga salam sejahtera bagimu ya Malaikat Maut ! Apakah kedatangan engkau ini berupa kunjungan ziarah ataukah bertugas mencabut nyawa ?"

"Aku datang untuk keduanya, ziarah dan juga bertugas untuk mencabut nyawa, itu pun jika beroleh izin daripadamu; dan jika tidak saya akan kembali", sahut Malaikat Maut itu.

Nabi bertanya pula : "Ya Malaikat Maut, dimana tadi engkau tinggalkan Jibrail ?"

"Saya tinggalkan dia di langit dunia dan para Malaikat senantiasa memuliakannya", jawab Malaikat Maut. Dan tak berapa lama kemudian, maka datanglah Malaikat Jibrail a.s. menyusul, dan terus duduk di dekat kepala Rasulullah.

"Apakah engkau tidak tahu, bahwa perintah telah dekat?" tanya Rasulullah kepada Jibrail.

"Benar, ya Rasul Allah !" sahut Jibrail.

“Gembirakanlah saya ! Apakah gerangan kehormatan yang kiranya akan saya peroleh di sisi Allah ?" tanya Rasulullah.

"Sesungguhnya pintu-pintu langit telah dibuka, dan para Malaikat telah siap berbaris-baris menunggu kedatangan roh engkau di langit; pintu-pintu surga pun telah dibuka menyongsong kedatangan roh engkau", kata Jibrail.

"Alhamdulillah", jawab Nabi s.a.w. yang kemudian berkata : "Ya Jibrail ! Gembirakanlah aku, bagaimana keadaan umatku nanti di hari Kiamat ?"

"Aku beri engkau kabar gembira, bahwa Allah SWT telah berfirman : Sesungguhnya Aku (Allah) telah mengharamkan surga bagi semua Nabi-Nabi sebelum engkau memasukinya terlebih dahulu, dan Allah mengharamkan pula surga itu kepada sekalian umat manusia sebelum umat engkau terlebih dahulu memasukinya", jawab Jibrail.

"Sekarang barulah senang hatiku dan hilang kekhawatiranku", kata Nabi yang selanjutnya menghadapkan ucapannya terhadap Malaikat Maut :

"Ya Malaikat Maut, sekarang mendekatlah kepadaku !"

Maka mendekatlah Malaikat Maut mengadakan pemeriksaan untuk menggenggam roh Nabi s.a.w. Tatkala sampai roh itu di pusat, Nabi berkata kepada Malaikat Jibrail :

"Alangkah beratnya penderitaan maut itu !" Jibrail pun tak sampai hati melihat keadaan Nabi yang dalam keadaan seperti itu dan ia pun memalingkan wajahnya sejenak dari memandang Rasulullah s.a.w.

"Apakah engkau benci melihat wajahku, ya Jibrail ?" tanya Rasulullah.

"Wahai kekasih Allah, siapakah gerangan yang tega sampai hatinya melihat wajahmu sedang engkau berada dalam situasi kritis sekarat al-maut ?" jawab Jibrail.

Berkata Anas bin Malik r.a.: adalah roh Nabi s.a.w. sampai di dadanya dan beliau waktu itu masih dapat berkata :

"Aku berpesan kepada kamu semua tentang Shalat dan tentang hamba sahaja yang berada di bawah tanggung jawab kamu". Dan pada penghujung nafasnya yang terakhir beliau menggerakkan kedua bibirnya dua kali dan aku pun mendekatkan telingaku baik-baik, maka aku masih sempat mendengar beliau berkata dengan pelan-pelan : "Ummati ! Ummati !" (umatku ! umatku!). Maka dijemputlah roh suci Rasulullah s.a.w. dalam keadaan wajah berseri-seri dan bibir manis yang bagaikan hendak tersenyum, dipangkuan  isteri tercinta, Aisyah r.a. pada hari Senin tanggal 12 bulan Rabi'ul Awwal, yakni di kala matahari telah tergelincir di tengah hari pada tahun ke-11 Hijriah, bersesuaian dengan tanggal 3 Juni tahun 632 Masehi. (menurut M.Khudhary Bey : hari senin 13 Rabi'ul awwal th. 11H - 18 Juni 633 M; menurut M Ridha tanggal 7 Juni 632 M.) . Dan adalah umur Nabi waktu itu genap 63 tahun menurut riwayat yang termashur dan yang paling sah.

  Inna lillahi wa Inna Ilaihi Raji'un

Sekiranya dunia ini boleh kekal untuk seseorang sesungguhnya Rasulullah s.a.w. adalah penghuninya yang abadi.

Diriwayatkan pula, bahwa ketika Ali bin Abi Tholib meletakkan jasad Rasulullah di atas tempat tidurnya, tiba-tiba terdengar suara ghaib dari pojok rumah berseru dengan nada tinggi :

"Jangan kamu mandikan jenazah Muhammad, karena ia adalah orang yang suci lagi pula membawa kesucian !"

Ali curiga terhadap suara itu dan ia bertanya  :"Siapa engkau ? padahal Rasulullah menyuruh kami memandikannya".

Tiba-tiba terdengar pula suara ghaib yang lain yang berseru sebaliknya :

"Hai Ali, mandikanlah beliau ! Suara yang pertama itu adalah suara iblis yang terkutuk karena dengki terhadap Muhammad s.a.w., dan ia bermaksud agar supaya Nabi Muhammad dimasukkan ke dalam liang kuburnya dalam keadaan tidak dimandikan (suci-bersih)".

"Semoga Allah membalasi engkau dengan kebajikan dikala engkau telah memberitahukan, bahwa suara itu adalah suara iblis. Sekarang siapakah pula sebenarnya engkau sendiri ?" tanya Ali.

"Saya adalah Chidhir", jawabnya.

“Saya datang untuk menghadiri jenazah Muhammad s.a.w.”

Kemudian Ali bin abi Tholib r.a. memandikan jenazah Rasulullah sedang Al-Fadhal bin Abbas dan Usamah bin Zaid r.a. menimba air, dan Malaikat Jibrail a.s. datang membawa harum-haruman dari surga. Mereka kafani dan kuburkan beliau di kamar rumah Siti Aisyah r.a. pada malam Rabu, dan ada yang mengatakan pada malam Selasa.

Sambil berdiri di kubur Nabi s.a.w. isteri beliau tercinta Aisyah pun berkata, bersenandung dengan suara terharu :

Wahai orang yang tidak pernah memakai sutera, yang tak pernah tidur di atas kasur yang empuk,

Wahai orang yang keluar dari dunia dan  perutnya tidak pernah kenyang dengan roti gandum,

Wahai orang yang memilih tikar untuk tempat tidur,

Wahai orang yang tidak tidur sepanjang malam (karena lamanya melaksanakan qiyamul lail) karena takut sentuhan neraka Sa'ir........

(Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir, Durratun Nasihin, hal. 56-61)

Kedukaan yang menimpa keluarga Rasulullah terpancar ke seluruh kaum Muslimin yang seperti anak ayam kehilangan induknya. Mereka ada yang panik sehingga tidak mau mengakui fakta takdir yang sedang menimpa mereka. Umar bin Khattab sendiri malah bersikap sedemikian rupa seolah-olah lupa diri dengan penuh nafsu menghunus mata pedangnya marah-marah dimuka orang banyak dengan berkata : "Siapa yang berani mengatakan bahwa Muhammad telah mati akan saya pukul dengan pedang ini".

Selanjutnya ia berkata : "Bahwa Muhammad tidaklah mati, tetapi ia hanya pergi buat sementara kepada Tuhan sebagaimana Musa bin Imran menghilang sementara dari kaumnya selama 40 malam dan kemudian ia kembali setelah ia dikatakan orang telah mati. Demi Allah, Rasulullah akan kembali pula sebagaimana halnya Musa kembali !"

Abu Bakar yang terlambat datang karena rumahnya yang jauh langsung saja masuk ke dalam rumah Aisyah tanpa menoleh ke kanan - kiri dan tidak menghiraukan keadaan orang lain yang sedang panik. Dilihatnya Rasulullah terbaring di atas tempat tidurnya. Dibukanya kain selubung yang menutupi wajah Rasulullah, lantas diciumnya wajah yang mulia itu dan kemudian ia pun menangislah sambil berkata :

"Demi ayah bundaku, alangkah indahnya hidupmu dan alangkah indahnya matimu ! Demi Allah , sekali-kali tidak akan terkumpul dua kematian atas dirimu. Adapun mati yang telah ditentukan Allah bagimu, telah engkau temui. Dan setelah itu takkan ada lagi kematian yang datang kepadamu buat selama-lamanya !".

Kemudian barulah ia keluar dan mendapati Umar masih bicara menurut sekehendak hatinya belaka. Melihat keadaan yang demikian barulah Abu Bakar bicara menenteramkan orang ramai. Dan orang-orang pun termasuk Umar pun duduk mendengarkan ucapan Abu Bakar. Setelah terlebih dahulu mengucapkan puji dan sanjung ke hadirat Allah yang Maha Kuasa, berkatalah ia :

"Wahai manusia ! Barang siapa yang menyembah Muhammad maka Muhammad telah mati. Tetapi barang siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah hidup, tidak akan mati-mati untuk selama-lamanya."

"Sesungguhnya engkau akan mati dan mereka pun akan mati !" (Az-Zumar : 30)

Kemudian Abu Bakar menyitir firman Allah lainnya :

"Muhammad itu tidak lain, melainkan hanya seorang Rasul. Telah banyak berlalu Rasul-rasul sebelumnya. Apakah sekiranya ia mati atau terbunuh, kamu akan berpaling atas tumit-tumit kamu ? Dan barangsiapa yang murtad, maka hal itu tidak akan menyusahkan Allah sedikitpun. Dan Allah pasti membalas jasa orang-orang yang bersyukur kepada Nya !" (Ali-Imron : 144)

Demikianlah akhirnya para sahabat dan seluruh umat Rasulullah tersadar seolah-olah mereka tidak pernah membaca ayat ini dan dengan penuh keikhlasan mau menerima takdir ini. Akhirnya marilah kita ungkapkan kembali ratapan seorang penyair, sahabat Rasulullah, Hasan bin Tsabit dalam sebuah sajaknya :

    Engkau adalah biji mataku

    Dengan kematianmu aku menjadi buta,

    tak bisa melihat.

    Siapa yang ingin mati sepeninggalmu,

     biarlah ia mati pergi menemui ajalnya,

    Aku, hanya risau haru dengan kepergianmu......